Sudah menjadi wacana yang mengglobal bila salah satu factor dari termarginalnya perempuan adalah ekonomi. Perempuan dalam tradisi patriarkhi hanya memiliki tanggung jawab sebagai housewife yang tugasnya melakukan housework dan menjadi pelayan bagi suami dan anak-anaknya.
Posisi ini tidak memberi kesempatan bagi perempuan untuk bekerja di luar. Kalaupun sekarang banyak perempuan yang kerja di luar, lebih pada factor ekonomi keluarga, bukan berlandaskan kesadaran mendalam akan usaha memberikan hak perempuan untuk berkembang.
Ketidak mampuan perempuan dalam ekonomi ini menjadikan perempuan sangat tergantung pada orang lain, hingga dia tidak mempunyai bargain kuat dalam lingkungannya. Bahkan terkadang untuk merawat alat reproduksinya yang nota bene merupakan bagian terpenting, mereka tidak bisa memutuskan sendiri, karena mereka tidak memiliki income.
Mengaca dengan hal ini, tentu usaha penguatan ekonomi perempuan menjadi hal yang tidak bisa ditawar lagi. Dengan uang yang dihasilkan sendiri, perempuan bisa memutuskan hal-hal penting menyangkut dirinya dan orang-orang terdekatnya, tidak perlu tergantung pada orang lain lagi. Namun bukan berarti hendak mengatakan kalau orang lain tidak dibutuhkan dalam kehidupan perempuan.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya yakni kenapa pesantren manjadi penting dalam usaha gerakan penguatan perekonomian perempuan?. Mungkin pertanyaan tersebut terlalu usang untuk diajukan kembali, tapi keusangannya tidak serta merta mereduse pentingnya untuk mendiskusikannya.
Banyak pendapat yang diungkapkan tentang pentingnya pesantren dalam hal ini. Pertama, pesantren adalah bagian esensial bagi masyarakat termasuk perempuan. Mereka selalu meletakkan pesantren sebagai panutan yang harus diikuti. Posisi pesantren ini tentu sangat menguntungkan bila digunakan sebagai upaya penyadaran akan pentingnya penguatan ekonomi bagi perempuan.
Posisi pesantren yang menempel erat dengan perempuan di lini terbawah juga menawarkan kemudahan untuk pengorganisasian, seperti ketika pembekalan ketrampilan dan pengontrolan kegiatan yang sedang dijalankan.
Hal lain yaitu kedekatan antara pesantren dengan perempuan sekitar tidak yang bisa dimiliki oleh lembaga lain. Hubungan ini bisa menjadi guarantee kerjasama yang berlandaskan kepercayaan yang kuat. Sebagai ilustrasi, bila lembaga donator mengucurkan pinjaman modal bagi perempuan untuk membangun bisnisnya, dapat dipastikan pinjaman tersebut tidak akan macet. Power pesantren dan juga charisma leader pesantren menjadi dorongan kuat bagi perempuan sekitar pesantren untuk mematuhi persyaratan yang ada.
Keunggulan pesantren dalam penguatan perekonomian perempuan ini masih diikuti pula oleh berbagai masalah. Persoalan tersebut antara lain yakni pesantren yang punya orientasi gender equality sedikit sekali, hingga mereka tidak pernah berpikir untuk berusaha memberdayakan ekonomi perempuan dengan kekuatan dan modal yang mereka miliki. Disamping itu praktik-praktik tidak fair juga sering mewarnai cerita berjalannya kredit-kredit yang disalurkan lewat pesantren.
Belum banyaknya lembaga donator yang merasa penting meletakkan pesantren sebagai mitra dalam usaha pengentasan perempuan dari kemiskinan, juga menjadi persoalan. Belum lagi masih sedikitnya lembaga donator yang memiliki perspective sadar gender.
Dengan mencermati kelebihan dan kekurangan yang dimiliki pesantren dalam wacana penguatan ekonomi perempuan, tentu ini menjadi pekerjaan rumah bagi stakeholder yang bergiat dalam bidang ini. Bergandeng tangan dengan banyak pihak adalah jalan terbaik untuk mewujudkan perempuan yang mandiri dan kuat.
Published in Jawa Pos, Oct 2006