Tulisan ini juga dimuat di sini
Beberapa waktu lalu seorang kawan di Banyuwangi meninggalkan pesan di YM yang isinya mengajak untuk ngobrol bareng. Perbedaan waktu yang cukup jauh antara Hawaii dan Indonesia sering sekali menjadikan kami tidak selalu bertemu dalam waktu yang berbarengan. Pada waktu dan hari yang sudah kita sepakati bersama, akhirnya aku bisa ngobrol dengan dia via chatting di YM.
Dia bercerita kalau saat ini sedang sibuk menyiapkan diri untuk maju ke kursi legislative di daerah Banyuwangi. Ada dua hal yang tiba-tiba saya rasakan. Pertama, tentu saya senang dan sangat mendukung langkahnya. Siapapun orangnya yang mau maju menjadi “buruh” rakyat tentu harus didukung, dan ini adalah tugas mulia. Tapi disisi lain sikap skeptic yang saya miliki pada politik juga muncul. Entah sudah berapa lama saya sangat meragukan dunia politik, walupun di ranah lain saya percaya bila politik juga merupakan jalan untuk memperbaiki kondisi masyarakat.
Sebagai teman, tentunya saya harus menunjukkan kalau saya dibelakang dia. Mulailah obrolan mengarah pada peta politik di Banyuwangi dan persiapan apa saja yang sudah dia lakukan untuk merebut kursi panas di DPRD. Harapan bahwa dia akan memberikan jawaban yang bisa memuaskan nafsu keingintahuan saya pada politik dan alih-alih mampu menghapus rasa ketidakpercayaan saya pada politik ternyata langsung menguap begitu saja. Saya sempat bertanya hal yang paling mendasar tentang berapa presentasi jumlah pemilih pemula dan pemilih lama di dapil dia. Dia hanya simple menjawab “emang itu penting ya?.” Saya masih berusaha mengejarnya dengan sebuah pertanyaan menukik, “Bagaimana kamu akan bisa menentukan program apa yang paling tepat bagi masyarakat di wilayahmu bila presentasi pemilihnya saja kamu tidak tahu.” Dia bilang kalau itu semua tidak penting, karena posisi dia yang berapa diurutan kepala sudah bisa menjadi jaminan untuk bisa melenggang ke gedung DPRD. Dalam artian menurut dia program bukan sesuatu yang signifikan. “Pokoknya sekarang yang aku butuhkan adalah uang untuk kampanye,” ujarnya mantap.
Pengen berontak dengan pernyataan dia yang asal-asalan, tapi saya berusaha melihat dari sisi lain. Saya yakin fenomena caleg seperti ini banyak jumlahnya, bahkan bisa jadi mayoritas. Mereka beranggapan bahwa semuanya bisa diselesiakn dengan uang. Maka tidaklah heran bila banyak wajah-wajah baru yang belum punya andil apapun di masyarakat tiba-tiba berubah menjadi seperti malaikat yang menebarkan uang. Ini mengingatkan saya pada ucapan seorang warga miskin dipedalaman Vietnam yang dikutip dalam sebuah buku. Petani tersebut bilang kalau dia berharap setiap hari adalah pemilu, hingga dia bisa tiap hari mendapat sumbangan sembako dan juga uang.
Di lain waktu, seorang kawan sewaktu kuliah S1 di UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta mengirimkan stikel dan foto baliho dirinya. Untuk pemilihan 2009 ini dia akan menempati nomor urut 3 untuk maju DPRD Magelang, Jawa Tengah. Dia menceritakan betapa motif untuk maju menjadi caleg ternyata sangat beragam. Saya sempat terpingkal-pingkal ketika dia bilang kalau ada seorang caleg yang sudah cukup merasa bangga ketika di pintu rumah tetangganya terpasang foto dirinya dan disandingkan dengan Megawati. Dan untuk kasus caleg dari Partai Demokrat, mereka sudah puas melihat fotonya disejajarkan dengan foto Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bahkan air mata saya sampai keluar karena ketawa mengetahui bila ada seorang caleg yang pengusaha percetakan dan sablon memaksakan diri maju menjadi seorang kandidat DPRD –walaupun dia dapat nomor sepatu- agar dia bisa kenal dengan caleg-caleg lain dengan harapan para caleg yang dia kenal mau memesan stikel, kaos, ataupun aksesori kampanye lainnya ke dia. Jadi bagi mereka bukan kemenangan yang diincar. Entahlah pemilu macam apa ini, kok sepertinya menjadi sebuah dagelan murahan.
Keraguan saya yang sebelumnya sudah ada semakin tumbuh subur dengan cerita kawan-kawan saya tersebut. Tapi di lain hal saya tidak bisa menyembunyikan sebuah pertanyaan besar dalam diri saya tentang bagaimana masyarakat Indonesia, Banyuwangi khususnya, akan bisa memilih para calon wakil mereka dengan tepat. Tidak bisa dipungkiri kalau kenyataan yang ada “mereka-mereka” lah yang sekarang sedang bertarung untuk menuju gedung parlement, jadi mau tidak mau masyarakat Banyuwangi harus memilih mereka. Memang ada pilihan lain untuk tidak memilih, alias golput, tapi bagi saya itu adalah tindakan orang-orang pecundang, karena mereka tidak mau memilih tapi akan menjadi orang terdepan untuk memprotes bila ada kesalahan yang dilakukan parlement. Bagi saya lebih berwibawa bila kita tetep menggunakan hak suara kita dengan memilih caleg yang “terbaik” dari yang ada, dan tentunya tetap mengkritis mereka ketika terjadi penyimpangan saat sudah menjabat.
Kenyataan di lapangan masyarakat tidak mendapatkan pembelajaran politik. Lembaga-lembaga yang seharusnya berperan penting untuk political education sering kali malah menjadikan powernya untuk memperoleh dukungan dari masyarakat pada calon-calon yang sudah memiliki deal dengan mereka. Yang dibutuhkan oleh rakyat sekarang ini bukan hanya selembar nomor dan foto caleg yang bisa secara sembunyi-sembunyi di bawa masuk ke bilik TPS dan kemudian dipilihnya di lembar pemilihan, tapi rakyat harus diajari untuk memilih calon yang benar. Tidak penting siapa yang nantinya menjadi pilihan rakyat, sejauh rakyat memilihnya dengan pertimbangan yang matang dan tahu track record dari calon yang dipilih, itu sudah menjadi pembelajaran politik yang luar biasa.
Sebagai orang yang saat ini tinggal jauh dari Banyuwangi, saya pribadi tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengambil fungsi sebagai political educator, disamping secara kemampuan saya tidak memiliki pengalaman di politik. Namun bagaimanapun juga, tanpa mengesampingkan kecerdasan masyarakat, saya merasa kalau tetap harus bertindak walaupun sangat kecil. Paling tidak kita harus melangkah.
Ketika bergabung dalam forum lare osing ini, yang menurut pengamatan saya kebanyakan member aktifnya tinggal di luar Banyuwangi, saya jadi tergerak untuk membuat sebuah langkah bersama untuk menyikapi pemilu ini. Selama ini banyak orang beranggapan kalau para putra Banyuwangi yang di luar kurang perduli dengan daerahnya, mungkin dengan sebuah langkah bersama ini kita bisa menunjukkan kalau kita tetap menjadi bagian untuk membangun Banyuwangi. Di satu sisi forum ini memiliki kekuatan yang lebih, karena independent. Kita tidak berafilisi dengan partai politik dan organisasi manapun, dan kita juga bukan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LSM). Jadi suara kita memang murni aspirasi bersama, tidak mewakili atau pesanan dari siapapun.
Yang keluar dari pikiran saya sekarang ini adalah membuat PETISI BERSAMA, yang isinya bahwa forum lare oseng ini mendukung pemilihan caleg yang bersih dan mumpuni. Tentu harus banyak criteria yang perlu disepakati, semisal caleg yang tidak memakai money politik, memiliki track record yang baik dalam aktivitas kemasyarakat, berpihak pada rakyat, punya program yang jelas dan sebagainya. Bila langkah tersebut diteruskan, dari petisi ini kita bisa menekan partai politik untuk menandatanganinya, hingga nantinya ketika mereka sudah menjabat kita bisa memakainya untuk menagih janji-janji mereka.
Bagaimana kawan????