Awal bulan lalu, tepatnya tanggal 1-3 Oktober, aku mendapat kesempatan untuk mengikuti training tentang Seksualitas dan Gender yang diadakan oleh Yayasan Rahima, tempatnya di Wisma Hijau, Jakarta. Ibu Ninuk yang merupakan konsultan WHO dan Mbak Nur Rofiah yang merupakan dosen di UIN Jakarta, PTIQ dan salah satu pengurus di PB Fatayat yang menjadi keyspeakernya. Acara ini dihadiri oleh beberapa Ibu Nyai dari berbagai daerah.
Terus terang pelatihan seperti ini bukan yang pertama kali aku ikuti, namun pelatihan kemarin benar-benar luar biasa bagiku. Materi tentang kesehatan reproduksi benar-benar menyita perhatianku, pematerinya juga luar biasa. Sempat beberapa kali aku terkaget-kaget ketika Ibu Ninuk dan Mbak Rofiah menerangkan tentang Kespro. Aku merasa bukan orang yang jauh dengan akses informasi, tapi ternyata banyak hal yang tidak aku ketahui tentang kespro. Lalu aku berpikir, bagaimana dengan ibu-ibu di desa yang mereka sama sekali tidak memiliki akses informasi?
Dengan berbekal pelajaran yang minim dari pelatihan tersebut, dan alat peraga yang berupa Penis, Vagina dan celemek yang tiap sisinya ada gambar detailnya alat reproduksi perempuan dan laki-laki aku mencoba menularkan pengetahuan yang sedikit ini kepada orang-orang didekatku, dengan jalan sebagai Pendidik Sebaya (PS). Selepas dari acara pelatihan itu aku menginap di kost temenku di daerah Salemba. Kebetulan temenku tinggal berdua dengan temannya yang sama-sama masih gadis. Malam itu aku mencoba menerangkan tentang kespro pada mereka. dari penjelasan yang sederhana itu berlanjut menjadi diskusi yang menarik. Banyak hal yang cukup mengagetkanku, salah satunya pengakuan temanku tentang ketakutannya membayangkan malam pertama. Saat itu pikiranku langsung kembali pada ingatan tentang MP (malam pertama) ku dulu. Aku dulu juga sangat ketakutan, disamping karena aku menikah dalam usia yang cukup muda, juga karena tidak ada pengetahuan sama sekali tentang seks yang aku terima. Bahkan saat itu tak ada satu orangpun yang menerangkan bagaimana hubungan badan dan bagaimana untuk melakukan KB. Orang tua sering kali berpikir bahwa hal tersebut tabu untuk dibicarakan dan sifatnya otodidak. Padahal pengetahuan kespro penting artinya bagi orang yang hendak menikah.
Acara PS ku berlanjut ke sahabat-sahabat Fatayat di Anak Cabang Tegalsari yang bertempat di ranting Karangdoro. Ada sekitar 30 orang ibu-ibu yang datang. Acara ini merupakan rutinan yang diadakan setiap sebulan sekali oleh Fatayat. Saat aku membuka diskusi tentang kespro dan mulai mengeluarkan alat perga satu persatu reaksi pertama yang muncul adalah jeritan dan tertawa cekikikan. Mungkin mereka geli dan malu. Karena mereka selama ini tidak pernah mendiskusikan hal ini, jadi perasaan risih pasti ada. Aku mencoab menerangkan dari hal-hal yang simple. Pertama tentang nama-nama organ tubuh laki-laki dan perempuan. Selama ini di masyarakat kita telah terjadi kesalahan yang dianggap lumrah dalma penyebutan alat kelamin manusia. Biasanya untuk laki-laki kita menyebut dengan nama Burung atau titit, kalau perempuan disebut memek atau popok. Penyebutan tersebut jelas berimplikasi terhadap asumsi anak. Pasti anak akan mikir, kenapa ya punyaku kok disebut burung? apa emang bisa terbang?. Untuk itu aku mencoba menekankan tentang pentingnya penyebutan alat kelamin dengan benar yakni Penis dan Vagina.
Penjelasanku berlanjut ke masalah proses terjadinya menstruasi, proses kehamilan, lalu ke persoalan alat kontrasepsi (KB). Seperti halnya aku sebelum pelatihan, Ibu-ibu yang datang juga tidak mengetahui proses dan efek samping dari memakai KB. Contoh, ibu-ibu tidak tahu kalau KB hormonal (pil, suntik, susuk/implan) bisa menurunkan libido, dan alasan kenapa perempuan yang memakai KB hormonal tidak mendapatkan menstruasi. Hal ini sebagai bukti bahwa informasi yang diterima oleh perempuan tentang KB sangat minim, padahal selama ini perempuanlah yang menjadi objek untuk KB, tapi mereka tidak tahu efek samping dari barang yang menempel dalam tubuhnya. Menyedihkan.
Diskusi siang itu semakin hangat ketika mulai memasuki tahap tentang hubungan badan. Aku sempat benar-benar terdiam beberapa saat ketika sahabat-sahabat Fatayat tersebut tidak tahu kalau perempuanpun bisa mendapatkan ejakulasi seperti laki-laki. Ketika aku terangkan apa itu ejakulasi dan bagaimana proses ejakulasi pada perempuan, eh ada yang bilang "Halah mbak, lawong biasanya orang laki-laki itu cuman usrek-usrek terus keluar terus ngorok tidur." Waduh....... selama ini mungkin seks hanya dianggap sebagai hak laki-laki dan kewajiban bagi perempuan, hingga keseimbangan dalam berhubungan badan tidak tercapai. Bahkan seorang teman saya yang berasal dari keluarga terpelajar menganggap bila ejakulasi pada perempuan hingga mengeluarkan cairan itu adalah air kencing, sampe-sampe dia sangat tertekan setiap kali keluar cairan saat ejact, karena dia mengaggap itu adalah air kencing. DUh perempuanku, betapa selama ini tubuhmu hanya diexplore saja tanpa kamu sendiri mengetahui apapiun tentang tubuhmu.
Diskusi saat itu aku akhiri dengan memberikan nomor HP ku kepada sahabat-sahabat Fatayat. Aku yakin dari sekian banyak pertanyaan yang masuk pasti masih lebih banyak pertanyaan yang tidak tersampaikan, alasan malu dan sungkan pasti menjadi alasannya, untuk itu dengan memberikan nomor HP kepada mereka, aku berharap mereka bisa menghubungiku secara pribadi bila ingin berdiskusi. dan ternyata benar, beberapa jam setelah acara tersbeut selesai, banyak sms yang masuk yang menanyakan banyak hal tentang Kespro. Jujur masih banyak pertanyaan yang belum bisa aku jawab, aku mencoba mencari jawabannya dengan searching di internet dan bertanya ke beberapa orang.
Ibu Ninuk pernah bercerita bila di Iran pasangan yang akan menikah akan mendapatkan training tentang kespro, biasanya forum laki-laki dan perempuan dipisahkan. Mereka juga diharuskan memeriksakan kesehatan reproduksianya sebelum menikah. Bila ada penyakit, mereka harus mengobatinya sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk memiliki anak. Dan dampak dari hal ini luar biasa sekali, kematian Ibu melahirkan di Iran hanya hitungan puluhan dari seratus ribu kelahiran. Bayangkan di Indonesia yang masih mencapai ratusan.
Terinspirasi dari cerita ibu Ninuk tersebut, aku mengundang para santri senior putri di pondok pesantren Darussalam, Blokagung, Banyuwangi untuk aku ajak diskusi tentang Kespro. Mereka antusias, dan menganggap diskusi ini bukan hal tabu tapi sesuatu yang penting, bahkan mereka mengusulkan agar aku melakukan diskusi tentang kespro kepada santri senior putra juga. Karena mereka belum menikah jadi pertanyaan-pertanyaan mereka masih belum bersifat pragmatis seperti halnya ketika berdiskusi dengan Ibu-Ibu di fatayat, namun begitu aku yakin mereka pasti memiliki pandangan yang lebih mendalam tentang tubuh mereka sebelum menikah menikah. Aku juga memberikan nomor HP kepada mereka, aku yakin nanti ketika mereka menikah pasti akan menemukan berbagai permasalahan, dan aku menyediakan diri sebagai tempat bertanya bagi mereka.
Setelah melakukan diskusi di dua forum yang sifatnya masal tersebut aku menyebarkan angket refleksi atas materi kespro yang aku sampaikan, dan juga aku bertanya tentang hal-hal apa aja yang mereka ingin ketahui lebih lanjut. Aku kaget sekali, dari kelompok ibu-ibu banyak yang ingin tahu lebih lanjut tentang bagaimana menikmati hubungan seksual. Di satu sisi aku gembira karena ini menunjukkan mereka mulai sadar kalau mereka punya hak yang sama tentang kenikmatan dalam berhubungan seks, tapi disisi lain ini sebagai bukti kalau selama ini banyak dari mereka yang belum enjoy dalam berhubungan seks. Sedangkan untuk kelompok yang belum menikah, banyak dari mereka yang ingin tahu tentang KB.
Hemm... perempuanku... masih banyak yang harus kita pelajari dan kita bagi dengan sesama perempuan di sekitar kita. Bila kita sesama perempuan tidak perduli dengan Kesehatan Reproduksi kita, lalu siapa yang akan perduli pada perempuan???...
MARI BERBAGI PEREMPUANKU....
Pesantren, Gender, Interfaith, and Sosial Discourse
Monday, February 21, 2011
Friday, December 03, 2010
Sunday, September 26, 2010
Menggagas Tafsir Moderat
Dr Sahiron Syamsuddin
(Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Akhir-akhir ini di belahan Dunia Islam, termasuk Indonesia, muncul kecenderungan sebagian umat Islam untuk menafsirkan teks-teks keagamaan (Alquran dan hadis) secara literal.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya fenomena ini, di antaranya adalah berikut ini. Pertama, pemahaman dan penafsiran muncul sebagai antitesis terhadap modernitas. Sebagian umat Islam memandang bahwa modernitas cenderung lebih mementingkan aspek-aspek materialistik dan duniawi, serta meninggalkan aspek spiritual. Klimaks dari perasaan dan pandangan tersebut adalah bahwa mereka kembali ke teks-teks keagamaan yang dapat mengisi kebutuhan spiritual mereka. Kedua, dalam kondisi psikologis semacam itu, mereka ingin mendapatkan pencerahan dari agama secara instan. Mereka ingin mendapatkan tuntunan dari Alquran dan hadis secepat mungkin.
Sebagai konsekuensinya, mereka mempelajari dan mengkaji kedua sumber utama tersebut dari terjemahan yang tentunya lebih menekankan makna literal. Konteks tekstual (yang komprehensif) dan konteks historis pun tidak mereka perhatikan secara seksama. Mereka tidak mau susah-susah untuk mendapatkan informasi-informasi di sekitar atau yang berkenaan dengan teks-teks keagamaan, karena untuk mengaksesnya dibutuhkan kemampuan ekstra, seperti penguasaan bahasa Arab, kaidah-kaidah tafsir (ushulut tafsir), ushul fikih, dan lain-lain, dan hal ini memerlukan waktu yang cukup lama, tidak instan. Ketiga, pemahaman literal juga, dalam beberapa kasus, disebabkan oleh faktor emosional tertentu. Karena kebencian dan kemarahan, misalnya, kepada sebuah negara, gerakan dan aliran tertentu, sebagian umat Islam lalu menjustifikasinya dengan ayat-ayat Alquran dan hadis tertentu dengan pemahaman yang literal dan apa adanya, meskipun sebenarnya ayat dan atau hadis itu tidak berkaitan sama sekali dengan masalah yang mereka sedang dihadapi.
Pemahaman dan penafsiran literal bukan tidak bermasalah. Problem-problem yang muncul dari bentuk penfasiran tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, ayat-ayat Alquran dan hadis dipahami dengan tidak komprehensif, tidak utuh, dan tentunya sepenggal-sepenggal. Munasabat al-ayat (keterkaitan antarayat) dan munasabat al-ahadis (keterkaitan antarhadis) tidak diperhatikan dengan baik. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya 'kesalahpahaman' (misunderstanding) yang seharusnya dihindari dalam proses pemahaman dan penafsiran. Kedua, pemahaman semacam ini bisa menyebabkan sebagian umat Islam menjadi 'ekstrem' dan eksklusif, hanya memandang penafsiran mereka sajalah yang benar.
Padahal, kita tahu bahwa keberagaman/pluralitas penafsiran terhadap sebuah ayat atau hadis tertentu mesti ada, bahkan sejak zaman awal-awal Islam. Sikap toleransi terhadap orang yang berbeda penafsiran terkikis dengan sendirinya. Ketiga, agama Islam terkesan garang, kejam, violent (penuh kekerasan), dan tidak humanis. Padahal, kita yakin Islam diturunkan sebagai rahmat bagi umat manusia. Hal ini tentunya menodai citra Islam sendiri di mata masyarakat.
Melihat problem-problem tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa kita perlu menciptakan model 'penafsiran moderat' (at-tafsir/at-ta'wil al-mutawazin al-muta'adil) terhadap teks-teks keagamaan. Prinsip-prinsip tafsir semacam ini adalah (1) memperhatikan secara seksama aspek bahasa dan konteks historis, seperti asbabun nuzul dan asbabul wurud, (2) memberikan posisi yang seimbang terhadap makna tersurat dan makna tersirat (ma'na dan maghza), (3) memperhatikan secara seimbang masa lalu (tradition) dan masa kini (modernitas), (4) mempertimbangkan aspek universal (universality) dan lokalitas (locality) teks keagamaan, dan (5) berpandangan bahwa hasil penafsirannya berada dalam batas kemampuan manusia, sehingga tetap bernuansa 'kebenaran relatif' (bukan kebenaran absolut), tidak mengklaim penafsirannya sebagai satu-satu penafsiran yang paling 'benar'. Pertanyaannya: Model penafsiran yang seperti apa yang memperhatikan kelima prinsip tersebut di atas?
Model 'penafsiran moderat' yang didasarkan pada kelima prinsip tersebut adalah apa yang bisa kita sebut dengan 'penafsiran ma'na-cum-maghza', yakni penafsiran yang berusaha menemukan makna asal (al-ma'na al-ashli) teks Alquran dan hadis dengan memperhatikan data-data sejarah dan linguistik (bahasa dan sastra) pada masa penurunan wahyu, sehingga mampu memahami spirit/makna terdalam dari teks-teks tersebut, dan kemudian melakukan penyesuaian terhadap makna terdalam itu dengan perdaban dan semangat hidup kontemporer/masa kini (maghza). Model penafsiran ini pernah digagas oleh, misalnya, Fazlurrahman dengan konsepnya double movement ('gerakan ganda') (Rahman: 5-7), Muhammad Talbi dengan konsepnya al-tafsir al-maqashidi (tafsir yang menekankan maqashid syar'iyyah) (Talbi 1992: 142-144) dan Nashr Hamid Abu Zayd dengan konsepnya al-tafsir al-siyaqi (tafsir kontekstual) (Abu Zayd 1995: 116).
Para sarjana tersebut memandang makna asal (bersifat historis) hanya sebagai pijakan awal bagi pembacaan Alquran dan hadis di masa kini; makna asal dan literal tidak mesti dipandang sebagai pesan utama. Menurut mereka, penafsir harus juga berusaha memahami makna di balik makna literal, yang disebut oleh Rahman dengan ratio legis.
SUMBER
(Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Akhir-akhir ini di belahan Dunia Islam, termasuk Indonesia, muncul kecenderungan sebagian umat Islam untuk menafsirkan teks-teks keagamaan (Alquran dan hadis) secara literal.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya fenomena ini, di antaranya adalah berikut ini. Pertama, pemahaman dan penafsiran muncul sebagai antitesis terhadap modernitas. Sebagian umat Islam memandang bahwa modernitas cenderung lebih mementingkan aspek-aspek materialistik dan duniawi, serta meninggalkan aspek spiritual. Klimaks dari perasaan dan pandangan tersebut adalah bahwa mereka kembali ke teks-teks keagamaan yang dapat mengisi kebutuhan spiritual mereka. Kedua, dalam kondisi psikologis semacam itu, mereka ingin mendapatkan pencerahan dari agama secara instan. Mereka ingin mendapatkan tuntunan dari Alquran dan hadis secepat mungkin.
Sebagai konsekuensinya, mereka mempelajari dan mengkaji kedua sumber utama tersebut dari terjemahan yang tentunya lebih menekankan makna literal. Konteks tekstual (yang komprehensif) dan konteks historis pun tidak mereka perhatikan secara seksama. Mereka tidak mau susah-susah untuk mendapatkan informasi-informasi di sekitar atau yang berkenaan dengan teks-teks keagamaan, karena untuk mengaksesnya dibutuhkan kemampuan ekstra, seperti penguasaan bahasa Arab, kaidah-kaidah tafsir (ushulut tafsir), ushul fikih, dan lain-lain, dan hal ini memerlukan waktu yang cukup lama, tidak instan. Ketiga, pemahaman literal juga, dalam beberapa kasus, disebabkan oleh faktor emosional tertentu. Karena kebencian dan kemarahan, misalnya, kepada sebuah negara, gerakan dan aliran tertentu, sebagian umat Islam lalu menjustifikasinya dengan ayat-ayat Alquran dan hadis tertentu dengan pemahaman yang literal dan apa adanya, meskipun sebenarnya ayat dan atau hadis itu tidak berkaitan sama sekali dengan masalah yang mereka sedang dihadapi.
Pemahaman dan penafsiran literal bukan tidak bermasalah. Problem-problem yang muncul dari bentuk penfasiran tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, ayat-ayat Alquran dan hadis dipahami dengan tidak komprehensif, tidak utuh, dan tentunya sepenggal-sepenggal. Munasabat al-ayat (keterkaitan antarayat) dan munasabat al-ahadis (keterkaitan antarhadis) tidak diperhatikan dengan baik. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya 'kesalahpahaman' (misunderstanding) yang seharusnya dihindari dalam proses pemahaman dan penafsiran. Kedua, pemahaman semacam ini bisa menyebabkan sebagian umat Islam menjadi 'ekstrem' dan eksklusif, hanya memandang penafsiran mereka sajalah yang benar.
Padahal, kita tahu bahwa keberagaman/pluralitas penafsiran terhadap sebuah ayat atau hadis tertentu mesti ada, bahkan sejak zaman awal-awal Islam. Sikap toleransi terhadap orang yang berbeda penafsiran terkikis dengan sendirinya. Ketiga, agama Islam terkesan garang, kejam, violent (penuh kekerasan), dan tidak humanis. Padahal, kita yakin Islam diturunkan sebagai rahmat bagi umat manusia. Hal ini tentunya menodai citra Islam sendiri di mata masyarakat.
Melihat problem-problem tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa kita perlu menciptakan model 'penafsiran moderat' (at-tafsir/at-ta'wil al-mutawazin al-muta'adil) terhadap teks-teks keagamaan. Prinsip-prinsip tafsir semacam ini adalah (1) memperhatikan secara seksama aspek bahasa dan konteks historis, seperti asbabun nuzul dan asbabul wurud, (2) memberikan posisi yang seimbang terhadap makna tersurat dan makna tersirat (ma'na dan maghza), (3) memperhatikan secara seimbang masa lalu (tradition) dan masa kini (modernitas), (4) mempertimbangkan aspek universal (universality) dan lokalitas (locality) teks keagamaan, dan (5) berpandangan bahwa hasil penafsirannya berada dalam batas kemampuan manusia, sehingga tetap bernuansa 'kebenaran relatif' (bukan kebenaran absolut), tidak mengklaim penafsirannya sebagai satu-satu penafsiran yang paling 'benar'. Pertanyaannya: Model penafsiran yang seperti apa yang memperhatikan kelima prinsip tersebut di atas?
Model 'penafsiran moderat' yang didasarkan pada kelima prinsip tersebut adalah apa yang bisa kita sebut dengan 'penafsiran ma'na-cum-maghza', yakni penafsiran yang berusaha menemukan makna asal (al-ma'na al-ashli) teks Alquran dan hadis dengan memperhatikan data-data sejarah dan linguistik (bahasa dan sastra) pada masa penurunan wahyu, sehingga mampu memahami spirit/makna terdalam dari teks-teks tersebut, dan kemudian melakukan penyesuaian terhadap makna terdalam itu dengan perdaban dan semangat hidup kontemporer/masa kini (maghza). Model penafsiran ini pernah digagas oleh, misalnya, Fazlurrahman dengan konsepnya double movement ('gerakan ganda') (Rahman: 5-7), Muhammad Talbi dengan konsepnya al-tafsir al-maqashidi (tafsir yang menekankan maqashid syar'iyyah) (Talbi 1992: 142-144) dan Nashr Hamid Abu Zayd dengan konsepnya al-tafsir al-siyaqi (tafsir kontekstual) (Abu Zayd 1995: 116).
Para sarjana tersebut memandang makna asal (bersifat historis) hanya sebagai pijakan awal bagi pembacaan Alquran dan hadis di masa kini; makna asal dan literal tidak mesti dipandang sebagai pesan utama. Menurut mereka, penafsir harus juga berusaha memahami makna di balik makna literal, yang disebut oleh Rahman dengan ratio legis.
SUMBER
UNESCO/JapanYoung Researchers' Fellowship Program
With the aim of supporting innovative and imaginative post-graduate research in areas of environment (with particular attention to water sciences), intercultural dialogue, information and communication technologies and peaceful conflict resolution, UNESCO is offering the UNESCO/Japan Young Researchers’ Fellowships Programme. The Programme is funded under a Japanese Funds-in-Trust for the capacity-building of Human Resources will aim, in particular, to impact on capacity-building and research activities in the areas mentioned above.
Eligibility
Applicants, a maximum of TWO from each applying National Commission, must meet the following general criteria:
1. Candidates under this Programme must be post-graduate researchers, already holding either an M.A. or M.Sc. degree (or equivalent) and wishing to pursue research work abroad (preferably in their own region) with a view to enhancing knowledge in one of the four specific fields mentioned in paragraph D.1 below. Thus, those who are in the process of completing their Master’s degree must have completed it PRIOR to taking up their Fellowship.
2. Candidates must be persons of high intellectual promise who may be expected to make significant contributions to their country on return.
3. Candidates must be no more than 40 years of age. Thus, applicants born before 1 January 1971 will not be considered under the Programme.
4. The selected Fellow must carry out the research under the auspices of an academic supervisor in a host institution. Confirmation of acceptance from the academic supervisor is imperative.
5. Priority attention will be given to:
• Women
• Candidates from least developed countries (LDCs)
• Palestinian researchers
6. Candidates must be proficient in reading and writing the language of instruction in the proposed country of study/research.
7. Applicants must be in good health, both physically and mentally.
The deadline to submit applications is 7 January 2011. For more information, visit this link :
http://portal.unesco.org/en/ev.php-URL_ID=14635&URL_DO=DO_TOPIC&URL_SECTION=201.html
Eligibility
Applicants, a maximum of TWO from each applying National Commission, must meet the following general criteria:
1. Candidates under this Programme must be post-graduate researchers, already holding either an M.A. or M.Sc. degree (or equivalent) and wishing to pursue research work abroad (preferably in their own region) with a view to enhancing knowledge in one of the four specific fields mentioned in paragraph D.1 below. Thus, those who are in the process of completing their Master’s degree must have completed it PRIOR to taking up their Fellowship.
2. Candidates must be persons of high intellectual promise who may be expected to make significant contributions to their country on return.
3. Candidates must be no more than 40 years of age. Thus, applicants born before 1 January 1971 will not be considered under the Programme.
4. The selected Fellow must carry out the research under the auspices of an academic supervisor in a host institution. Confirmation of acceptance from the academic supervisor is imperative.
5. Priority attention will be given to:
• Women
• Candidates from least developed countries (LDCs)
• Palestinian researchers
6. Candidates must be proficient in reading and writing the language of instruction in the proposed country of study/research.
7. Applicants must be in good health, both physically and mentally.
The deadline to submit applications is 7 January 2011. For more information, visit this link :
http://portal.unesco.org/en/ev.php-URL_ID=14635&URL_DO=DO_TOPIC&URL_SECTION=201.html
Asian Graduate Student Fellowships 2011
The Asia Research Institute of NUS invites applications from citizens of Asian countries enrolled for a fulltime advanced degree at a university in an Asian country (except Singapore) for consideration for the award of Asian Graduate Student Fellowships. These fellowships are offered to current graduate students doing their Master’s or PhD degrees and working in the Humanities and Social Sciences on Southeast Asian topics, and will allow the recipients to be based at NUS for an ‘in residence fellowship’ for a period of three months. The aim of the fellowship is to enable scholars to make full use of the wide range of resources held in the libraries of NUS and the Institute of Southeast Asian Studies. Scholars will be expected to commence on 3 May 2011, and to make a presentation on their work at the Singapore Graduate Forum on Southeast Asian Studies at the end of July 2011.
Successful candidates can expect the following benefits:
1) A monthly allowance of SGD1,000.
2) A monthly housing allowance of SGD250.
3) A settling-in allowance of SGD150.
4) A sum of $100 on a reimbursement basis for miscellaneous expenses
5) A one-time round trip travel subsidy by the most economical and direct route on a reimbursement basis upon being accepted for the fellowship.
6) Access to library and computer resources on campus.
Applicants are invited to e-mail/facsimile/mail their application forms (CLICK HERE), a 2-page outline of their research proposal in English (this may be accompanied by a longer statement in a Southeast Asian language) to the address below by 15 November 2010. Arrangements should also be made by which at least two letters of reference, one of which is from your principal supervisor, are sent confidentially to the same address by the same deadline.
The 2-page research proposal must include the following details:
1) Whether the data collection or fieldwork stage of the research has already been completed;
2) how the fellowship will contribute to the research;
3) the types of sources to be consulted in Singapore;
4) proposed work plan during the fellowship.
You can look forward to excellent library and internet computer facilities at NUS’ main library (http://www.lib.nus.edu.sg/), the library at the Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) (http://www.iseas.edu.sg/library.html) and the Lee Kong Chian Reference Library at the National Library (http://www.nlb.gov.sg/) to facilitate your research for the dissertation. NUS’ main library has 2 million volumes covering all topics while ISEAS’ library has 200,000 on Southeast Asian topics, half of which are in Southeast Asian languages.
Selvi
Asia Research Institute
NUS Bukit Timah Campus
469A Tower Block #10-01
Bukit Timah Road, Singapore 259770
E-mail : arikk@nus.edu.sg
Fax: 65 67791428
Website: http://www.ari.nus.edu.sg/
Successful candidates can expect the following benefits:
1) A monthly allowance of SGD1,000.
2) A monthly housing allowance of SGD250.
3) A settling-in allowance of SGD150.
4) A sum of $100 on a reimbursement basis for miscellaneous expenses
5) A one-time round trip travel subsidy by the most economical and direct route on a reimbursement basis upon being accepted for the fellowship.
6) Access to library and computer resources on campus.
Applicants are invited to e-mail/facsimile/mail their application forms (CLICK HERE), a 2-page outline of their research proposal in English (this may be accompanied by a longer statement in a Southeast Asian language) to the address below by 15 November 2010. Arrangements should also be made by which at least two letters of reference, one of which is from your principal supervisor, are sent confidentially to the same address by the same deadline.
The 2-page research proposal must include the following details:
1) Whether the data collection or fieldwork stage of the research has already been completed;
2) how the fellowship will contribute to the research;
3) the types of sources to be consulted in Singapore;
4) proposed work plan during the fellowship.
You can look forward to excellent library and internet computer facilities at NUS’ main library (http://www.lib.nus.edu.sg/), the library at the Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) (http://www.iseas.edu.sg/library.html) and the Lee Kong Chian Reference Library at the National Library (http://www.nlb.gov.sg/) to facilitate your research for the dissertation. NUS’ main library has 2 million volumes covering all topics while ISEAS’ library has 200,000 on Southeast Asian topics, half of which are in Southeast Asian languages.
Selvi
Asia Research Institute
NUS Bukit Timah Campus
469A Tower Block #10-01
Bukit Timah Road, Singapore 259770
E-mail : arikk@nus.edu.sg
Fax: 65 67791428
Website: http://www.ari.nus.edu.sg/
Labels:
Beasiswa,
Fellowship,
Penelitian
LOWONGAN : Recruitment of English Language Teacher-Trainers
The British Council is seeking to recruit qualified and experienced English language teacher-trainers for our English teaching and teacher-training activities in 2011. The British Council is committed to supporting the development of English teachers throughout Indonesia, and is working closely with the Ministry of National Education and the Ministry of Religious Affairs to build capacity in the English teaching sector.
The successful applicants will become British Council Teacher-Trainers, and will conduct training on behalf of the British Council in the province in which they live. This is not a full-time post. Teacher-Trainers will be expected to conduct training for up to three days per month, and will be paid a very competitive daily rate. Teacher-Trainers who are currently employed by schools, universities, or training institutions will therefore need the permission of their employer to spend up to three days per month conducting training for the British Council. Teacher-Trainers will also be offered the opportunity for annual training and professional development through the British Council.
The British Council therefore seeks applications from experienced English language teacher-trainers. Ideal candidates will have:
Aim of teacher-trainer role: To prepare and deliver training in the teaching of English language in order to develop the teaching skills of our trainees. To enhance the British Council's reputation as a foremost ELT training provider, in the areas of primary and / or secondary level education.
Duties and standards
1) To plan, prepare and deliver training courses, workshops and talks to English teachers and /or other ELT practitioners (eg. Teacher-trainers, ELT specialists, supervisors) in the state system and / or private sector.
* Training sessions are well-prepared and managed in accordance with the needs of the trainees. This can be demonstrated through trainee / stakeholder feedback and observation.
* Sessions delivered are well-researched and reflect current thinking in ELT and effective use is made of current materials and technology (if available) to achieve session aims. Materials are adapted and supplemented to trainees' needs.
* Through their professionalism and credibility, trainers and the materials they use enhance British Council's reputation as a foremost ELT training provider.This can be demonstrated through trainee / stakeholder feedback and observation.
* No complaints from trainees or stakeholders.
2) To monitor and give feedback to trainees / stakeholders online or in hard copy if required. To mark all written work and provide written feedback and reports if required.
* Reflective journals, homework tasks and portfolios are returned within a negotiated timeframe.
3) To prepare, develop and evaluate training materials for courses and workshops, adapting where necessary.
* Session material reflects current thinking re. ELT methodology and training needs of target audience.
* Copyright laws are fully observed (CSS).
Person specifications
4) High proficiency in English.
5) Proven track record in teacher training.
6) Subject knowledge:
* Shares subject knowledge and classroom application with others in training sessions, through individual coaching and positive interaction with group.
* Displays a high level of sensitivity, creativity and skill in providing accurate and appropriate information about concepts / skills / language with specific learning outcomes in mind.
7) Evaluation and assessment of learning:
* Assesses individual students' needs and uses this assessment to set realistic goals for the group.
* Selects, adapts and creates valid tests and other forms of informal assessment for learners and evaluates and interprets outcomes appropriately
* Gives accurate and useful feedback to learners on their performance.
* Encourages and develops learner self-assessment through a range of activities.
* Shares insights and knowledge with others.
8) Ability to use IT to write or adapt course materials (if required) and for training purposes.
Please send a CV, with a covering letter in English explaining why you are appropriate for this position to the following email address:
access.english@britishcouncil.or.id
Closing date for applications:
* Candidates from Aceh: 25 September 2010
* Candidates from other provinces: 07 October 2010.
For further enquiries, please contact: Lenggo.geni@britishcouncil.or.id
The successful applicants will become British Council Teacher-Trainers, and will conduct training on behalf of the British Council in the province in which they live. This is not a full-time post. Teacher-Trainers will be expected to conduct training for up to three days per month, and will be paid a very competitive daily rate. Teacher-Trainers who are currently employed by schools, universities, or training institutions will therefore need the permission of their employer to spend up to three days per month conducting training for the British Council. Teacher-Trainers will also be offered the opportunity for annual training and professional development through the British Council.
The British Council therefore seeks applications from experienced English language teacher-trainers. Ideal candidates will have:
Aim of teacher-trainer role: To prepare and deliver training in the teaching of English language in order to develop the teaching skills of our trainees. To enhance the British Council's reputation as a foremost ELT training provider, in the areas of primary and / or secondary level education.
Duties and standards
1) To plan, prepare and deliver training courses, workshops and talks to English teachers and /or other ELT practitioners (eg. Teacher-trainers, ELT specialists, supervisors) in the state system and / or private sector.
* Training sessions are well-prepared and managed in accordance with the needs of the trainees. This can be demonstrated through trainee / stakeholder feedback and observation.
* Sessions delivered are well-researched and reflect current thinking in ELT and effective use is made of current materials and technology (if available) to achieve session aims. Materials are adapted and supplemented to trainees' needs.
* Through their professionalism and credibility, trainers and the materials they use enhance British Council's reputation as a foremost ELT training provider.This can be demonstrated through trainee / stakeholder feedback and observation.
* No complaints from trainees or stakeholders.
2) To monitor and give feedback to trainees / stakeholders online or in hard copy if required. To mark all written work and provide written feedback and reports if required.
* Reflective journals, homework tasks and portfolios are returned within a negotiated timeframe.
3) To prepare, develop and evaluate training materials for courses and workshops, adapting where necessary.
* Session material reflects current thinking re. ELT methodology and training needs of target audience.
* Copyright laws are fully observed (CSS).
Person specifications
4) High proficiency in English.
5) Proven track record in teacher training.
6) Subject knowledge:
* Shares subject knowledge and classroom application with others in training sessions, through individual coaching and positive interaction with group.
* Displays a high level of sensitivity, creativity and skill in providing accurate and appropriate information about concepts / skills / language with specific learning outcomes in mind.
7) Evaluation and assessment of learning:
* Assesses individual students' needs and uses this assessment to set realistic goals for the group.
* Selects, adapts and creates valid tests and other forms of informal assessment for learners and evaluates and interprets outcomes appropriately
* Gives accurate and useful feedback to learners on their performance.
* Encourages and develops learner self-assessment through a range of activities.
* Shares insights and knowledge with others.
8) Ability to use IT to write or adapt course materials (if required) and for training purposes.
Please send a CV, with a covering letter in English explaining why you are appropriate for this position to the following email address:
access.english@britishcouncil.or.id
Closing date for applications:
* Candidates from Aceh: 25 September 2010
* Candidates from other provinces: 07 October 2010.
For further enquiries, please contact: Lenggo.geni@britishcouncil.or.id
Perjodohan
Ada Pertanyaan masuk ke emailku:
mbak aku minta tolong, temenku mau dijodohin and disuruh menikah ama orang tuanya tapi dia gak siap dan begitu gitu suka atau kenal ama calon suaminya.Dia nolak tapi ortunya marah, dan tidak mau peduli. Aku tidak bisa ngasik masukan karena tidak tau mesti bantu gimna. pie yo mbak?? aq rasa sampean bisa ngasik masukan yang lebih baik. help, kasihan dia
Lalu Aku Jawab :
begini, aku akan mencoba menganalisis dari 2 sisi, sisi sang anak dan sisi orang tua. Kebetulan penelitianku tentang arranged marriages (perjodohan) ini:
Ada beberapa hal yang menjadi alasan orang tua melakukan perjodohan:
1. Ingin mememnuhi tanggung jawab sebagai orang tua yang harus menghantarkan anak-anaknya ke jenjang pernikahan
2. Memastikan anaknya mendapat jodoh yang selevel dalam segi agama, sosial, dan ekonomi
3. Orang tua ingin mendapat keuntungan dari rencana perjodohan ini, ya keuntungan itu bisa berupa materi, sosial status atau lainnya.
4. Orang tua merasa lebih punya pengalaman dalam hal rumah tangga jadi wajar ingin mengarahkan anak.
5. Kacamata yang dipakai orang tua biasanya lebih komplek dari pada kacamata kita. Kalau kita sering kali memikirkan hanya dari segi fisik, contoh, cakep, kaya, pinter, kalau orang tua kadang berpikir hal yang lebih rumit, seperti apakah keluarga dia dan keluarga calon besan bisa nyambung? bagaimana kehidupan mendatang anaknya setelah menikah? dsb
Dari sisi anak:
A. Bila menolak
1. Sudah punya calon sendiri
2. Merasa calonya tidak kriterianya
3. Tidak mengenal calonnya
B. Menerima
1. Ingin tawaduk ke orang tua
2. Merasa calon ortunya adalah lebih baik dari pilihan dia
3. tidak punya calon sendiri
4. pressure dari masyarakat dan keluarga untuk segera menikah
Dalam islam ada istilah Ijbar, yang banyak diartikan bahwa wali (ayah atau kakek) bisa menikahkan anak perempuannya yang masih perawan. hal ini yang sering dijadikan alasan ortu untuk memaksakan kehendaknya kepada anak, bahkan anak akan dihukum bila menolak. Padahal Ijbar disini menurut kanjeng nabi adalah DIskusi, bukan pemaksaan. Dalam artian diskusi antara anak dan orang tua lebih diutamakana dari pada pemaksaaan kehendak dari satu pihak.
Ada cerita, seorang sahabat perempuan Nabi yang bernama al-Khansa lapor ke nabi bahwa dia telah dinikahkan oleh ayahnya dengan sepupunya dengan tanpa minta persetujuan dari al-khansa., jadi ayah al-khansa menikahkan dia tanpa minta persetujuan/berdiskusi dengan al khansa etrlebih dahulu. Mendengar laporan itu Nabi Muhammad langsung membatalakan pernikahan al-khansa. Waktu itu al-khansa bilang "sebenarnya sayua bisa saja menerima pernikahan ini, dengan tindakan ini saya hanya ingin menunjukkan bahwa orang tua tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada anak."
Untuk kasus temanmu aku tidak tahu posisi dan alasan masing2 pihak, jadi aku gak bisa memberi komentar banyak. Nurut aku diskusi kedua belah pihak harus lebih dikedepankan.
Oya, Ijbar hanya boleh dilakukan bila tidak ada permusuhan anatara ortu dan anak.
salam
mbak aku minta tolong, temenku mau dijodohin and disuruh menikah ama orang tuanya tapi dia gak siap dan begitu gitu suka atau kenal ama calon suaminya.Dia nolak tapi ortunya marah, dan tidak mau peduli. Aku tidak bisa ngasik masukan karena tidak tau mesti bantu gimna. pie yo mbak?? aq rasa sampean bisa ngasik masukan yang lebih baik. help, kasihan dia
Lalu Aku Jawab :
begini, aku akan mencoba menganalisis dari 2 sisi, sisi sang anak dan sisi orang tua. Kebetulan penelitianku tentang arranged marriages (perjodohan) ini:
Ada beberapa hal yang menjadi alasan orang tua melakukan perjodohan:
1. Ingin mememnuhi tanggung jawab sebagai orang tua yang harus menghantarkan anak-anaknya ke jenjang pernikahan
2. Memastikan anaknya mendapat jodoh yang selevel dalam segi agama, sosial, dan ekonomi
3. Orang tua ingin mendapat keuntungan dari rencana perjodohan ini, ya keuntungan itu bisa berupa materi, sosial status atau lainnya.
4. Orang tua merasa lebih punya pengalaman dalam hal rumah tangga jadi wajar ingin mengarahkan anak.
5. Kacamata yang dipakai orang tua biasanya lebih komplek dari pada kacamata kita. Kalau kita sering kali memikirkan hanya dari segi fisik, contoh, cakep, kaya, pinter, kalau orang tua kadang berpikir hal yang lebih rumit, seperti apakah keluarga dia dan keluarga calon besan bisa nyambung? bagaimana kehidupan mendatang anaknya setelah menikah? dsb
Dari sisi anak:
A. Bila menolak
1. Sudah punya calon sendiri
2. Merasa calonya tidak kriterianya
3. Tidak mengenal calonnya
B. Menerima
1. Ingin tawaduk ke orang tua
2. Merasa calon ortunya adalah lebih baik dari pilihan dia
3. tidak punya calon sendiri
4. pressure dari masyarakat dan keluarga untuk segera menikah
Dalam islam ada istilah Ijbar, yang banyak diartikan bahwa wali (ayah atau kakek) bisa menikahkan anak perempuannya yang masih perawan. hal ini yang sering dijadikan alasan ortu untuk memaksakan kehendaknya kepada anak, bahkan anak akan dihukum bila menolak. Padahal Ijbar disini menurut kanjeng nabi adalah DIskusi, bukan pemaksaan. Dalam artian diskusi antara anak dan orang tua lebih diutamakana dari pada pemaksaaan kehendak dari satu pihak.
Ada cerita, seorang sahabat perempuan Nabi yang bernama al-Khansa lapor ke nabi bahwa dia telah dinikahkan oleh ayahnya dengan sepupunya dengan tanpa minta persetujuan dari al-khansa., jadi ayah al-khansa menikahkan dia tanpa minta persetujuan/berdiskusi dengan al khansa etrlebih dahulu. Mendengar laporan itu Nabi Muhammad langsung membatalakan pernikahan al-khansa. Waktu itu al-khansa bilang "sebenarnya sayua bisa saja menerima pernikahan ini, dengan tindakan ini saya hanya ingin menunjukkan bahwa orang tua tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada anak."
Untuk kasus temanmu aku tidak tahu posisi dan alasan masing2 pihak, jadi aku gak bisa memberi komentar banyak. Nurut aku diskusi kedua belah pihak harus lebih dikedepankan.
Oya, Ijbar hanya boleh dilakukan bila tidak ada permusuhan anatara ortu dan anak.
salam
Lowongan Konsultan
Call for Proposal on Early Marriage Research Consultancy-Plan Indonesia
Plan Indonesia is an international child-centered humanitarian and community development organization promoting the rights and the best interest of children. Plan’s vision is of a world in which all children realize their full potential in societies that respect people's rights and dignity. Plan works to achieve lasting improvements for children living in poverty in developing countries, through a process that unites people across cultures and adds meaning and value to their lives.
Plan Indonesia is seeking for consultant to conduct early marriage research. The principal purpose of this study is to examine sociocultural and economic causes, extent and consequences of early marriage in Indonesia. The study is designed to achieve several goals. First, it will capture the national trend on early marriage as much as the quantitative data as possible. Second, the study will highlight the existing legal aspects in dealing with early marriage as well as the major actors involved. Third, the study will be more contexts specific in Plan districts which have high prevalence of early marriage. In the context specific study, the focus will be to identify the knowledge and understanding of the different stakeholders toward early marriage as well as to analyze the cause and impact of early marriage. It will also identify the existing mechanism in the district level in dealing with early marriage. The study will combine of qualitative
and quantitative methods. The quantitative baseline study will be conducted in 6 districts of Plan working areas that are Districts of Rembang and Grobogan ( Central Java ) , Soe, Sikka and Lembata (East Nusa Tenggara) and Dompu (West Nusa Tenggara). While, the in-depth study will be conducted in 4 districts as mentioned above, excluding Lembata and Grobogan.
This opportunity is open both for Consulting Firms and Individual Consultants. Deadline for submission is September 30th, 2010, and all documentation/materials should be written in English. Only shortlisted candidates will be contacted. To have the complete of Research TOR please contact to Bekti.Andari@plan-international.org and cc-ed to supriyono@plan-international.org
Thank you for your attention.
Bekti Andari
Gender Specialist
Plan Indonesia
Menara Duta Building 2th Floor
Jalan H.R. Rasuna Said Kav. B-9 Kuningan
Jakarta Selatan-12910, Indonesia
www.plan-international.org
P :+62-21-5229566
F :+62-21-5229571
Email : Bekti.Andari@plan-international.org
Plan Indonesia is an international child-centered humanitarian and community development organization promoting the rights and the best interest of children. Plan’s vision is of a world in which all children realize their full potential in societies that respect people's rights and dignity. Plan works to achieve lasting improvements for children living in poverty in developing countries, through a process that unites people across cultures and adds meaning and value to their lives.
Plan Indonesia is seeking for consultant to conduct early marriage research. The principal purpose of this study is to examine sociocultural and economic causes, extent and consequences of early marriage in Indonesia. The study is designed to achieve several goals. First, it will capture the national trend on early marriage as much as the quantitative data as possible. Second, the study will highlight the existing legal aspects in dealing with early marriage as well as the major actors involved. Third, the study will be more contexts specific in Plan districts which have high prevalence of early marriage. In the context specific study, the focus will be to identify the knowledge and understanding of the different stakeholders toward early marriage as well as to analyze the cause and impact of early marriage. It will also identify the existing mechanism in the district level in dealing with early marriage. The study will combine of qualitative
and quantitative methods. The quantitative baseline study will be conducted in 6 districts of Plan working areas that are Districts of Rembang and Grobogan ( Central Java ) , Soe, Sikka and Lembata (East Nusa Tenggara) and Dompu (West Nusa Tenggara). While, the in-depth study will be conducted in 4 districts as mentioned above, excluding Lembata and Grobogan.
This opportunity is open both for Consulting Firms and Individual Consultants. Deadline for submission is September 30th, 2010, and all documentation/materials should be written in English. Only shortlisted candidates will be contacted. To have the complete of Research TOR please contact to Bekti.Andari@plan-international.org and cc-ed to supriyono@plan-international.org
Thank you for your attention.
Bekti Andari
Gender Specialist
Plan Indonesia
Menara Duta Building 2th Floor
Jalan H.R. Rasuna Said Kav. B-9 Kuningan
Jakarta Selatan-12910, Indonesia
www.plan-international.org
P :+62-21-5229566
F :+62-21-5229571
Email : Bekti.Andari@plan-international.org
Religious Studies in Islamic Institutes
The policy well-known as link-and-match in the national system of education, since it was first applied in the 1990s, has vastly inspired and prompted many high schools and higher learning institutions to set the programs of study that match and have direct links with demand in the job market.
It is therefore easy to understand, why at present most parents prefer to send their children to universities and colleges that offer a better possibility of employment afterwards, as the educational institutions promise students applicable and relevant expertise.
Islamic studies are not able to offer dream jobs for the graduates. Just look at the UIN/IAIN/STAIN (Islamic State University/Institute of Islamic Studies). These institutes often find difficulties in recruiting students.
Of five fields of Islamic sciences taught at those institute Syari'ah (Islamic law) Tarbiyah (education), Ushuluddin (fundamental of religion), Dakwah (religious propagation, and Adab (literature), the departments of Ushuluddin, Dakwah and Adab are increasingly enduring year-to-year low enrollment of freshmen.
What follows seems even more discouraging. The attempts of several Institutes of Islamic Studies (IAIN/STAIN) to transform their institute status into university level, for instance, IAIN Syarif Hidayatullah then becoming Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (Islamic State University), IAIN Sunan Kalijaga becoming UIN Sunan Kalijaga, and STAIN Malang becoming UIN Maulana Malik Ibrahim, are not very helpful to attracting more students.
Amid this academic predicament, meticulous but creative outlooks and solutions are absolutely needed in order to boost the academic appeal of Islamic studies and to figure out the imperative role that the field may play in the future. Islamic studies are different from religious studies. The latter is broader than the former in terms of the scope of study, methodology, and epistemological assumptions.
Islamic studies mainly deal with and put emphasis exclusively on one specific religion that is Islam and all its dimensions, whereas religious studies, known too as religionwissenschaft, embrace and focus on all religions in general and also absorb and apply a variety of disciplines and approaches that belong to philosophy and social sciences.
Religious studies began to be installed into the system of curriculum of IAIN in the early 1970s. The late Harun Nasution and Mukti Ali played a historic role in introducing the subject at IAIN Syarif Hidayatullah and IAIN Sunan Kalijaga during their tenure as the rectors of the respective institutions.
Islamic state institutes' stakeholders seemed to have realized from the outset that religious studies are very helpful in enhancing Islamic studies' framework. No doubt, it is to religious studies that Islamic studies owe contemporary approaches and methodologies, through which the latter became able to unravel and decipher religious issues in the more open-minded ways of thinking. Religious studies bring about fundamental principles such as respect for humanity, inclusive religiosity, pluralism and tolerance.
In its June 29, 2009, newsletter, Muhammad Ali Al-Hazaa, the head of the University of Jazan in Saudi Arabia, a newly established higher learning institution, pointed out that Saudi no longer needs graduates in (Islamic) religious studies, in view of the country's job market being saturated with graduates in the field, on the one hand and the rising trend of extremist movements, which have in fact been supplied by those who graduated from Islamic studies department. Meanwhile, universities are more reluctant to open the faculty of Islamic studies.
Indeed concern over Islamic studies' vulnerability to being sources of religious extremism, as Al-Hazaa alluded to, cannot be thwarted unless the stakeholders of Islamic learning institutions, be it universities, institutes, pesantren (Islamic boarding school) and madrassa, show the openness to integrate Islamic studies with contemporary approaches and analysis in religious studies that highly respect the principles of inclusive religiosity, multiculturalism, religious pluralism and diversity, toleration, and so forth.
With regard to the field of religious studies that has over three decades been thought in Islamic states institutes/universities, it has so far been indubitably making tremendous contribution to promoting not only discourses but also actions that favor interfaith dialogues, respect for religious pluralism and inclusivism, and upholding of justice, equality, harmony and tolerance among people of different faiths. Not to mention an enormous number of religiously open-minded graduates.
Related to that, for instance, the existence of the Center for Religious and Cultural Studies (CRCS) for Masters' degree and the Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) for doctoral level, with English used as the only medium of teaching, jointly founded some years ago by three prominent universities in Jogjakarta (the University of Gadjah Mada, the Islamic State University of Sunan Kalijaga and the Christian University of Duta Wacana), is to be seen to some extent as offshoot of the long dedication Islamic state institutes/universities gave to flourishing religious studies in its more generic meaning, which refers not only to one but all religions on the whole.
In addition, despite the recently gloomy appeal of Islamic studies, what the Department of Religious Affairs devotes to in the last four years by giving some of Islamic state institutes/universities special classes of Islamic studies, with all its subjects taught in either English or Arabic, offered with full scholarship for undergraduate level, appears to raise new hopes that Islamic studies will play an incredible role in generating, rather than men of working classes and religious extremists, men of ideas and actions committed to earnestly breeding peace, harmony and justice in pluralistic society.
Aslam Sa'ad is currently a lecturer in English and Hermeneutics at Islamic State Institute of Islamic Studies (IAIN Walisongo Semarang); Nihayatul Wafiroh is a Ph.D. student at Indonesian Consortium of Religious Studies (ICRS) of the University of Gadjah Mada.
It is published here
It is therefore easy to understand, why at present most parents prefer to send their children to universities and colleges that offer a better possibility of employment afterwards, as the educational institutions promise students applicable and relevant expertise.
Islamic studies are not able to offer dream jobs for the graduates. Just look at the UIN/IAIN/STAIN (Islamic State University/Institute of Islamic Studies). These institutes often find difficulties in recruiting students.
Of five fields of Islamic sciences taught at those institute Syari'ah (Islamic law) Tarbiyah (education), Ushuluddin (fundamental of religion), Dakwah (religious propagation, and Adab (literature), the departments of Ushuluddin, Dakwah and Adab are increasingly enduring year-to-year low enrollment of freshmen.
What follows seems even more discouraging. The attempts of several Institutes of Islamic Studies (IAIN/STAIN) to transform their institute status into university level, for instance, IAIN Syarif Hidayatullah then becoming Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (Islamic State University), IAIN Sunan Kalijaga becoming UIN Sunan Kalijaga, and STAIN Malang becoming UIN Maulana Malik Ibrahim, are not very helpful to attracting more students.
Amid this academic predicament, meticulous but creative outlooks and solutions are absolutely needed in order to boost the academic appeal of Islamic studies and to figure out the imperative role that the field may play in the future. Islamic studies are different from religious studies. The latter is broader than the former in terms of the scope of study, methodology, and epistemological assumptions.
Islamic studies mainly deal with and put emphasis exclusively on one specific religion that is Islam and all its dimensions, whereas religious studies, known too as religionwissenschaft, embrace and focus on all religions in general and also absorb and apply a variety of disciplines and approaches that belong to philosophy and social sciences.
Religious studies began to be installed into the system of curriculum of IAIN in the early 1970s. The late Harun Nasution and Mukti Ali played a historic role in introducing the subject at IAIN Syarif Hidayatullah and IAIN Sunan Kalijaga during their tenure as the rectors of the respective institutions.
Islamic state institutes' stakeholders seemed to have realized from the outset that religious studies are very helpful in enhancing Islamic studies' framework. No doubt, it is to religious studies that Islamic studies owe contemporary approaches and methodologies, through which the latter became able to unravel and decipher religious issues in the more open-minded ways of thinking. Religious studies bring about fundamental principles such as respect for humanity, inclusive religiosity, pluralism and tolerance.
In its June 29, 2009, newsletter, Muhammad Ali Al-Hazaa, the head of the University of Jazan in Saudi Arabia, a newly established higher learning institution, pointed out that Saudi no longer needs graduates in (Islamic) religious studies, in view of the country's job market being saturated with graduates in the field, on the one hand and the rising trend of extremist movements, which have in fact been supplied by those who graduated from Islamic studies department. Meanwhile, universities are more reluctant to open the faculty of Islamic studies.
Indeed concern over Islamic studies' vulnerability to being sources of religious extremism, as Al-Hazaa alluded to, cannot be thwarted unless the stakeholders of Islamic learning institutions, be it universities, institutes, pesantren (Islamic boarding school) and madrassa, show the openness to integrate Islamic studies with contemporary approaches and analysis in religious studies that highly respect the principles of inclusive religiosity, multiculturalism, religious pluralism and diversity, toleration, and so forth.
With regard to the field of religious studies that has over three decades been thought in Islamic states institutes/universities, it has so far been indubitably making tremendous contribution to promoting not only discourses but also actions that favor interfaith dialogues, respect for religious pluralism and inclusivism, and upholding of justice, equality, harmony and tolerance among people of different faiths. Not to mention an enormous number of religiously open-minded graduates.
Related to that, for instance, the existence of the Center for Religious and Cultural Studies (CRCS) for Masters' degree and the Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) for doctoral level, with English used as the only medium of teaching, jointly founded some years ago by three prominent universities in Jogjakarta (the University of Gadjah Mada, the Islamic State University of Sunan Kalijaga and the Christian University of Duta Wacana), is to be seen to some extent as offshoot of the long dedication Islamic state institutes/universities gave to flourishing religious studies in its more generic meaning, which refers not only to one but all religions on the whole.
In addition, despite the recently gloomy appeal of Islamic studies, what the Department of Religious Affairs devotes to in the last four years by giving some of Islamic state institutes/universities special classes of Islamic studies, with all its subjects taught in either English or Arabic, offered with full scholarship for undergraduate level, appears to raise new hopes that Islamic studies will play an incredible role in generating, rather than men of working classes and religious extremists, men of ideas and actions committed to earnestly breeding peace, harmony and justice in pluralistic society.
Aslam Sa'ad is currently a lecturer in English and Hermeneutics at Islamic State Institute of Islamic Studies (IAIN Walisongo Semarang); Nihayatul Wafiroh is a Ph.D. student at Indonesian Consortium of Religious Studies (ICRS) of the University of Gadjah Mada.
It is published here
Darah Tercecer
Duarrrrrrrrr
Dentuman meriam pecah seiring dengan lengkingan suaramu
Menjerit
Darah mengucur bagaikan hujan
Langit kelam
Halilintar merobek indahnya sinar bulan
Dagingmu hitam terpanggang
Serpihan meriam telah mecopoti jari-jarimu
hingga terberai dimakan tikus curut
Purdah yang menutupi tubuh sucimu tak lagi berbentuk
bahkan harum zaitun dari tubuhmu telah berubah
jadi bau anyir, bau kematian
Seonggok tubuh mungil yang baru menghirup panasnya udara dunia sebulan lalu masih dalam dekapanmu
Dia diam
Tak menjerit
Tak berteriak
Tak juga merintih
Selimut yang membalut tubuh merah bayi itu terkoyak
Membuyarkan separuh lengan mungilnya
Dan potongan lengannya terlempar di ujung kamar sempit yang telah poranda
Tak ada air mata keluar
Badanmu hanya menggigil menahan perih dan kesakitan di sekujur tubuh
Duarr....
Bunyi meriam terdengar lagi
Dan tubuhmu bagaikan kambing yang disembelih saat lebaran idul Adha
Mengejang...
Bergetar..
Melotot..
Mata, hidung, mulut, dan telingamu memuntahkan darah segar
dan....
Dengan sisa nyawa kau mencoba mendekap tubuh anakmu
Sebelum akhirnya malaikat benar-benar mencabut nyawamu
Mengantarkanmu berkumpul dengan anak dan suamimu
Selamat jalan perempuan Palestinaku
Dentuman meriam pecah seiring dengan lengkingan suaramu
Menjerit
Darah mengucur bagaikan hujan
Langit kelam
Halilintar merobek indahnya sinar bulan
Dagingmu hitam terpanggang
Serpihan meriam telah mecopoti jari-jarimu
hingga terberai dimakan tikus curut
Purdah yang menutupi tubuh sucimu tak lagi berbentuk
bahkan harum zaitun dari tubuhmu telah berubah
jadi bau anyir, bau kematian
Seonggok tubuh mungil yang baru menghirup panasnya udara dunia sebulan lalu masih dalam dekapanmu
Dia diam
Tak menjerit
Tak berteriak
Tak juga merintih
Selimut yang membalut tubuh merah bayi itu terkoyak
Membuyarkan separuh lengan mungilnya
Dan potongan lengannya terlempar di ujung kamar sempit yang telah poranda
Tak ada air mata keluar
Badanmu hanya menggigil menahan perih dan kesakitan di sekujur tubuh
Duarr....
Bunyi meriam terdengar lagi
Dan tubuhmu bagaikan kambing yang disembelih saat lebaran idul Adha
Mengejang...
Bergetar..
Melotot..
Mata, hidung, mulut, dan telingamu memuntahkan darah segar
dan....
Dengan sisa nyawa kau mencoba mendekap tubuh anakmu
Sebelum akhirnya malaikat benar-benar mencabut nyawamu
Mengantarkanmu berkumpul dengan anak dan suamimu
Selamat jalan perempuan Palestinaku
Tidak Harus Jadi Besar
"Hari ini ada rencana apa?" sapa burung yang tidak aku tahu kapan datangnya, tiba-tiba sudah bertengger di jendela kamarku, tepat di depan laptopku. Aku hanya tersenyum melihat burung yang ekornya berbulu merah itu.
Ternyata senyumku belum merupakan jawab bagi dia, hingga kedua kalinya dia mengajukan pertanyaan yang sama.
"Engak kemana-mana, di kamar aja. Lagian lagi bokek gini kok," jawabku sambil beranjak menuju kulkas untuk mengambil air putih. Dari ujung mataku, aku lihat dia berpindah posisi. Dia sekarang bukan hanya di depan laptopku tapi sudah mencengkeramkan kaki kecilnya di atas monitor laptopku, sambil matanya yang bundar kecil itu melihat-lihat foto-foto yang aku buka dari FB ku.
Entah kenapa burung mungil yang hingga kini tidak aku tahu namanya itu selalu rajin datang menghampiri jendelaku. Bila jendelaku masih tertutup, dia pasti mematuk-matuk seperti meminta untuk dibukakan. Bila aku sedang tidak tidur dan sedang di kamar, aku akan segera membuka gorden dan jendelaku, dan membiarkannya bertenger di ujung jendela. Kalau tidak ada tugas yang harus aku selesaikan, aku suka menemani burung ini. Biasanya aku akan duduk di atas meja panjangku sambil mendekap kedua lututku di dada. Bunyi air sungai yang mengalir dengan air bening menjadi pemandangan yang membuatku dan burung ini betah duduk berlama-lama di jendela pojok kamarku.
"Emang kamu mau ngajak aku jalan-jalan?" tanyaku sambil duduk kembali di depan laptop dan ngelanjutin tag foto-foto di FB. Burung itu tidak menjawab, dia masih sibuk mengibas-ngibaskan ekor merahnya.
"kenapa kamu enggak belajar terbang seperti aku," jawabnya tiba-tiba. Hemmm.......terbang? aku mengernyitkan dahiku. Sepertinya menarik tuh.
"Aku kecil, tapi aku tahu banyak hal, karena aku selalu berusaha mengepakkan sayapku yang tak seberapa besar ini untuk mencari hal-hal baru." Aku masih belum menjawab, tapi pikiranku mulai bekerja mencerna ucapan burung ini.
"Tidak perlu jadi besar untuk tahu banyak hal, yang penting adalah kemauan." Itu ucapan terahirnya sebelum dia terbang keluar dari kamarku dan bergabung dengan burung-burung lain kebetulan sedang terbang dari pohon-pohon di halaman.
Iya, aku punya banyak hal, tapi kenapa aku hanya diam dan tidak terbang??
Ternyata senyumku belum merupakan jawab bagi dia, hingga kedua kalinya dia mengajukan pertanyaan yang sama.
"Engak kemana-mana, di kamar aja. Lagian lagi bokek gini kok," jawabku sambil beranjak menuju kulkas untuk mengambil air putih. Dari ujung mataku, aku lihat dia berpindah posisi. Dia sekarang bukan hanya di depan laptopku tapi sudah mencengkeramkan kaki kecilnya di atas monitor laptopku, sambil matanya yang bundar kecil itu melihat-lihat foto-foto yang aku buka dari FB ku.
Entah kenapa burung mungil yang hingga kini tidak aku tahu namanya itu selalu rajin datang menghampiri jendelaku. Bila jendelaku masih tertutup, dia pasti mematuk-matuk seperti meminta untuk dibukakan. Bila aku sedang tidak tidur dan sedang di kamar, aku akan segera membuka gorden dan jendelaku, dan membiarkannya bertenger di ujung jendela. Kalau tidak ada tugas yang harus aku selesaikan, aku suka menemani burung ini. Biasanya aku akan duduk di atas meja panjangku sambil mendekap kedua lututku di dada. Bunyi air sungai yang mengalir dengan air bening menjadi pemandangan yang membuatku dan burung ini betah duduk berlama-lama di jendela pojok kamarku.
"Emang kamu mau ngajak aku jalan-jalan?" tanyaku sambil duduk kembali di depan laptop dan ngelanjutin tag foto-foto di FB. Burung itu tidak menjawab, dia masih sibuk mengibas-ngibaskan ekor merahnya.
"kenapa kamu enggak belajar terbang seperti aku," jawabnya tiba-tiba. Hemmm.......terbang? aku mengernyitkan dahiku. Sepertinya menarik tuh.
"Aku kecil, tapi aku tahu banyak hal, karena aku selalu berusaha mengepakkan sayapku yang tak seberapa besar ini untuk mencari hal-hal baru." Aku masih belum menjawab, tapi pikiranku mulai bekerja mencerna ucapan burung ini.
"Tidak perlu jadi besar untuk tahu banyak hal, yang penting adalah kemauan." Itu ucapan terahirnya sebelum dia terbang keluar dari kamarku dan bergabung dengan burung-burung lain kebetulan sedang terbang dari pohon-pohon di halaman.
Iya, aku punya banyak hal, tapi kenapa aku hanya diam dan tidak terbang??
Women and Politic
Beberapa hari lalu aku membaca beberapa news di koran dan radio US tentang kunjungan Obama dan Michelle ke gedung putih. Di situ ditulis bagaimana President Bush dan elected president, Obama mendiskusikan banyak hal tentang America ke depan, terutama problem ekonomi yang sedang menimpa US. Jadi keduanya digambarkan selayaknya pemimpin negara yang bertemu.
Interestingly, gambaran ini berbalik, ketika penggambaran Laura Bush dan Michelle Obama. Laura dikabarnya memberikan pesan-pesan bagaimana menjadikan rumah dinas tersebut selayaknya rumah sendiri.
tentu hal ini kontras sekali dengan gambaran Bush dan Obama. Saya pribadi tidak percaya kalau kedua ibu negara ini hanya mendiskusikan hal-hal yang sifatnya domestik. Saya percaya Michelle adalah orang cerdas, pasti dia akan mencari tahu banyak hal tentang peran sebagai Ibu negara dalam memajukan US dari seniornya. Michelle tentu tidak akan membuang waktunya hanya untuk mengobrolkan hal pengaturan rumah. Tapi kenapa yang di angkat oleh media hanya masalah domestic issues?. Pasti ini kaitannya dengan social construction tentang peran perempuan yang hanya di private sphere.
Saya juga sempat tidak habis pikir ketika baca di salah satu koran yang mengomentari pakaiannya Michelle ketika pidato kemenangan Obama di Chicago. Begitu juga ketika banyak yang mengkritisi penampilan Sarah Palin. Kritik penampilan juga berulang kali menimpa Hillary Clinton saat dia sedang bertarung dengan Obama untuk mendapat tiket maju sebagai calon president dari partai Demokrat. Lalu, kenapa yang disoroti soal baju, make up, sepatu, dan aksesoris lainnya hanya perempuan? Kenapa juga pandangan, sikap dan opini dari para perempuan-perempuan ini tidak dikedepankan dari pada hanya ngomongin soal baju?. Lagi-lagi body image selalu tidak bisa dilepaskan dari sosok perempuan. Perempuan lebih dilihat dari segi penampilan fisik dari pada sisi kecerdasan dia.
Kasus jatuhnya mantan presiden Filipina, Marcos, juga selalu dikaitkan dengan istrinya. Dalam sebuah buku yang saya baca disebutkan bahwa akibat hobby shoppingnya istrinya, Marcos menjadi korupsi dan akhirnya jatuh. Memang tidak bisa dipungkiri bila peran istri sangat mempengaruhi karir politik pasanganya, tapi bukan berarti selalu dilihat dari segi negativenya saja. Imelda Marcos pasti juga berkontribusi besar mengantarkan suaminya ke duduk di kursi presiden. So, menjatuhkan perempuan sebagai kelompok yang paling bersalah adalah bagian untuk mencengkram perempuan agar selalu bisa berada dalam genggaman tradisi patriarchy.
Bagaimana kemudian dengan kasus pemilihan gubernur di Jawa Timur sekarang? seorang kawan sempat melontarkan sebuah pertanyaan tentang kemungkinan adanya "penyusup" yang anti pemimpin perempuan dalam KPU, hingga dengan berbagai cara menjegal perempuan menjadi pemimpin Jawa Timur. hemmmm bisa jadi benar.
Hawaii, November 13, 2008
Interestingly, gambaran ini berbalik, ketika penggambaran Laura Bush dan Michelle Obama. Laura dikabarnya memberikan pesan-pesan bagaimana menjadikan rumah dinas tersebut selayaknya rumah sendiri.
tentu hal ini kontras sekali dengan gambaran Bush dan Obama. Saya pribadi tidak percaya kalau kedua ibu negara ini hanya mendiskusikan hal-hal yang sifatnya domestik. Saya percaya Michelle adalah orang cerdas, pasti dia akan mencari tahu banyak hal tentang peran sebagai Ibu negara dalam memajukan US dari seniornya. Michelle tentu tidak akan membuang waktunya hanya untuk mengobrolkan hal pengaturan rumah. Tapi kenapa yang di angkat oleh media hanya masalah domestic issues?. Pasti ini kaitannya dengan social construction tentang peran perempuan yang hanya di private sphere.
Saya juga sempat tidak habis pikir ketika baca di salah satu koran yang mengomentari pakaiannya Michelle ketika pidato kemenangan Obama di Chicago. Begitu juga ketika banyak yang mengkritisi penampilan Sarah Palin. Kritik penampilan juga berulang kali menimpa Hillary Clinton saat dia sedang bertarung dengan Obama untuk mendapat tiket maju sebagai calon president dari partai Demokrat. Lalu, kenapa yang disoroti soal baju, make up, sepatu, dan aksesoris lainnya hanya perempuan? Kenapa juga pandangan, sikap dan opini dari para perempuan-perempuan ini tidak dikedepankan dari pada hanya ngomongin soal baju?. Lagi-lagi body image selalu tidak bisa dilepaskan dari sosok perempuan. Perempuan lebih dilihat dari segi penampilan fisik dari pada sisi kecerdasan dia.
Kasus jatuhnya mantan presiden Filipina, Marcos, juga selalu dikaitkan dengan istrinya. Dalam sebuah buku yang saya baca disebutkan bahwa akibat hobby shoppingnya istrinya, Marcos menjadi korupsi dan akhirnya jatuh. Memang tidak bisa dipungkiri bila peran istri sangat mempengaruhi karir politik pasanganya, tapi bukan berarti selalu dilihat dari segi negativenya saja. Imelda Marcos pasti juga berkontribusi besar mengantarkan suaminya ke duduk di kursi presiden. So, menjatuhkan perempuan sebagai kelompok yang paling bersalah adalah bagian untuk mencengkram perempuan agar selalu bisa berada dalam genggaman tradisi patriarchy.
Bagaimana kemudian dengan kasus pemilihan gubernur di Jawa Timur sekarang? seorang kawan sempat melontarkan sebuah pertanyaan tentang kemungkinan adanya "penyusup" yang anti pemimpin perempuan dalam KPU, hingga dengan berbagai cara menjegal perempuan menjadi pemimpin Jawa Timur. hemmmm bisa jadi benar.
Hawaii, November 13, 2008
Pink Voice
Kemarin di kelas "Advanced Topic in Feminist Studies and Education" kita menerima guest speaker, yakni Dr Sarah Twoney, seorang dosen di curriculum studies di univ ku. Dia memberi judul diskusi kita malam itu dengan "I'm (possible) Literacies: Digital Play, Gender and Schooling."
Kelasku yang hanya terdiri dari 4 students tersebut semakin hangat dengan diskusi yang menarik ini. Sarah menerangkan kalau tema tersebut adalah bagian dari projectnya. Dia telah meneliti masalah ini beberapa tahun dan yang diteliti adalah murid-murid di high school.
Dalam penelitiannya terungkap kalau murid laki-laki lebih banyak menggunakan fasilitas komputer untuk bermain game, sebaliknya murid perempuan lebih memanfaatkan komputer untuk searching materi-materi tentang science.
Sarah juga mempunya web yang dibuatnya dengan kawannya. web tersebut diberi nama Pink Voice. Maksud pink voice adalah tempat diskusi sesama murid-murid perempuan. Memang dalam kenyataanya ketika dalam komunikasi, perempuan sering tidak bisa menjadi dirinya sendiri kalau teman ngobrolnya adalah lawan jenis. Gender construction juga berimplikasi dalam komunikasi sehari-hari.
Aku pernah membaca artikel hasil penelitian, disitu diterangkan bahwa kalau di chat room yang isinya mix gender, biasanya orang yang menggunakan nama-nama maskulin lebih sering menyapa dengan kata-kata yang menjurus ke arah sex, bahkan obrolannya tidak jauh-jauh dengan sex. Dan itu terjadi juga bila chat roomnya khusus laki-laki, disamping obrolan soal sport, topic sex tidak pernah lepas. Ini tidak sama ketika masuk chat room yang untuk perempuan, mereka lebih banyak sharing tentang sibuknya mengurus rumah tangga, tentang anak-anak mereka dan juga sering juga obrolan tentang pekerjaan.
Dari sini aku jadi teringat pikiran yang sempat menggelitik otakku beberapa waktu lalu. Bila aku amati dari banyak kawan blogger, kebanyakan ibu-ibu yang aktif di blogger mempunyai blog lebih dari satu. Biasanya blog yang satu untuk pekerjaan dan blog satunya untuk menulis tentang aktifitas sehari-harinya dengan keluarga. Paling tidak ibu-ibu yang blogger -dalam pandangan saya- selalu memiliki space tersendiri sebagai tempat untuk keluarga. Coba bandingkan dengan blogger laki-laki -ini tentu juga sejauh pandanganku-, mereka hanya memiliki blog satu dan itu untuk pekerjaan mereka. Jarang sekali blogger cowok yang punya space tersendiri yang menceritakan tentang aktifitas dengan keluarganya.
Aku jadi mikir, apakah itu karena ibu-ibu lebih banyak waktunya dengan keluarga? Ah sepertinya enggak juga tuh, aku tahu kok banyak ibu-ibu blogger yang pergi pagi dan pulang sore untuk bekerja, sama dengan suami-suami mereka. Ataukah itu sebagai bentuk ungkapan penyesalan para Ibu-ibu yang tidak bisa selalu menemani buah hati mereka, hingga mereka ingin selalu merekam aktifitas sekecil apapun dengan keluarganya dalam blog?, bisa juga jawabannya iya, bila memang itu masalahnya, lalu apakah bapak-bapak itu juga tidak perlu menyesal telah meninggalkan buah hati mereka begitu lama untuk bekerja?? Mungkin juga jiwa perempuan yang sarat dengan perasaan membawa Ibu-ibu untuk bisa menyalurkan apa yang dia rasakan dalam space tersendiri.
Apapun alasannya dari sini bisa di lihat bagaimana perbedaan gender telah membuktikan cara yang berbeda pula dalam mengungkapkan perasaan.
Hawaii, October 25, 2008
Kelasku yang hanya terdiri dari 4 students tersebut semakin hangat dengan diskusi yang menarik ini. Sarah menerangkan kalau tema tersebut adalah bagian dari projectnya. Dia telah meneliti masalah ini beberapa tahun dan yang diteliti adalah murid-murid di high school.
Dalam penelitiannya terungkap kalau murid laki-laki lebih banyak menggunakan fasilitas komputer untuk bermain game, sebaliknya murid perempuan lebih memanfaatkan komputer untuk searching materi-materi tentang science.
Sarah juga mempunya web yang dibuatnya dengan kawannya. web tersebut diberi nama Pink Voice. Maksud pink voice adalah tempat diskusi sesama murid-murid perempuan. Memang dalam kenyataanya ketika dalam komunikasi, perempuan sering tidak bisa menjadi dirinya sendiri kalau teman ngobrolnya adalah lawan jenis. Gender construction juga berimplikasi dalam komunikasi sehari-hari.
Aku pernah membaca artikel hasil penelitian, disitu diterangkan bahwa kalau di chat room yang isinya mix gender, biasanya orang yang menggunakan nama-nama maskulin lebih sering menyapa dengan kata-kata yang menjurus ke arah sex, bahkan obrolannya tidak jauh-jauh dengan sex. Dan itu terjadi juga bila chat roomnya khusus laki-laki, disamping obrolan soal sport, topic sex tidak pernah lepas. Ini tidak sama ketika masuk chat room yang untuk perempuan, mereka lebih banyak sharing tentang sibuknya mengurus rumah tangga, tentang anak-anak mereka dan juga sering juga obrolan tentang pekerjaan.
Dari sini aku jadi teringat pikiran yang sempat menggelitik otakku beberapa waktu lalu. Bila aku amati dari banyak kawan blogger, kebanyakan ibu-ibu yang aktif di blogger mempunyai blog lebih dari satu. Biasanya blog yang satu untuk pekerjaan dan blog satunya untuk menulis tentang aktifitas sehari-harinya dengan keluarga. Paling tidak ibu-ibu yang blogger -dalam pandangan saya- selalu memiliki space tersendiri sebagai tempat untuk keluarga. Coba bandingkan dengan blogger laki-laki -ini tentu juga sejauh pandanganku-, mereka hanya memiliki blog satu dan itu untuk pekerjaan mereka. Jarang sekali blogger cowok yang punya space tersendiri yang menceritakan tentang aktifitas dengan keluarganya.
Aku jadi mikir, apakah itu karena ibu-ibu lebih banyak waktunya dengan keluarga? Ah sepertinya enggak juga tuh, aku tahu kok banyak ibu-ibu blogger yang pergi pagi dan pulang sore untuk bekerja, sama dengan suami-suami mereka. Ataukah itu sebagai bentuk ungkapan penyesalan para Ibu-ibu yang tidak bisa selalu menemani buah hati mereka, hingga mereka ingin selalu merekam aktifitas sekecil apapun dengan keluarganya dalam blog?, bisa juga jawabannya iya, bila memang itu masalahnya, lalu apakah bapak-bapak itu juga tidak perlu menyesal telah meninggalkan buah hati mereka begitu lama untuk bekerja?? Mungkin juga jiwa perempuan yang sarat dengan perasaan membawa Ibu-ibu untuk bisa menyalurkan apa yang dia rasakan dalam space tersendiri.
Apapun alasannya dari sini bisa di lihat bagaimana perbedaan gender telah membuktikan cara yang berbeda pula dalam mengungkapkan perasaan.
Hawaii, October 25, 2008
Our Body
Kemarin saat baca paper yang berjudul "Exploring Feminist Women's Body Counciousness" aku sempat sad banget. Paper yang ditulis oleh mahasiswa dari Arizona State University (ASU-USA), ngomongin soal body image.
Kayaknya paper ini benar-benar sama dengan kondisiku. Seperti yang telah dilihat dan diketahui bersama, kalau size tubuhku termasuk besar. Kalau di US, aku merasa sangat nyaman dengan tubuhku, maksudnya walaupun tubuhku gendut tapi aku enjoy. Mungkin karena ukuran tubuh orang US juga banyak yang gede, jadi aku merasa tidak sendiri. Mungkin juga aku merasa pede karena aku bisa dengan mudah mencari ukuran bajuku di US, bahkan ukuran bajuku masih termasuk L, padahal di US ada ukuran baju yang X5L. Mungkin juga kenyamananku karena orang sini tidak perduli dengan ukuran tubuh, jadi tidak pernah ada yang mengomentari tubuhku.
Tapi kondisi ini berbalik 100% kalau aku di Indonesia. Sebenernya dibawah alam sadarku, aku sangat ketakutan dengan ketidak nyamanan ukuran tubuhku bila aku di Indonesia. Ampe sebulan sebelum pulang biasanya aku sudah mulai belajar peace dengan komentar2 yang bakal aku terima, aku juga belajar peace dengan hatiku yang terus brontak dengan bebagai macam "pelecehan" yang aku terima.
DI Indonesia, kalau aku ketemu teman or saudara, bisa dapat dipastikan komentarnya seragam "Lho, nduk kok tambah gemuk ya." Hatiku sebenernya protes kenapa sih mereka selalu tanya seperti itu, kenapa mereka tidak mementingkan bertanya gimana kondisi sekolahku or kesehatanku misalnya, dari pada hanya ngomongin tubuh. Tapi lagi-lagi semua protes hanya aku simpan dalam kegetiran hati.
Belum lagi kalau aku harus nyari baju. Ampuuuuuuunnnnn benar-benar perjuangan. Perasaan jengkel, malu dan sebel sering menyerangku. Bayangkan suatu saat aku pernah masuk ke pusat perbelanjaan, terus aku lihat-lihat baju, ada baju yang menarik, aku tanya ke penjaganya untuk minta ukuran yang paling gede, tapi ternyata setelah aku coba tetep aja tidak muat. Mau tau komentar penjaganya itu "Wah Mbak, ukuran baju ini yang paling besar. Yang salah kayaknya bukan ukuran bajunya sih, tapi badan mbak." TUHANNNNN, andaikan saat itu Allah mencabut sedikit aja kesadaranku, pasti penjaga itu sudah aku tonjokkkkkkkk. Aku benar-benar hanya jadi penonton kalau lagi shopping dengan teman-teman ke outlet2, la gimana lawong semua baju dan celana hanya untuk ukuran orang yang 'kecil'.
Itu baru urusan baju, belum lagi dengan sandal/sepatu. Untuk ukuran cewek, ukuran kakiku emang gede. Sekitar nomor 40/41. Dan tahu sendirilah sulit nyari sandal /sepatu lucu-lucu yang seukuran itu. Pernah aku muter nyari sepatu untuk acara wisuda dengan temanku. Pengennya sepatu yang agak berhak, biar pantas dipandankan dengan songket. Tapi perburuan selama dua hari di Jogja, tidak juga menemukan sepatu itu. Temenku sampe komentar "Dasar kaki gajah." Di US, aku seperti menemukan tempatku, aku bisa dengan mudah mencari sepatu or sandal yang sesuai dengan ukuran kakiku. Makanya sekarang aku sering banget shopping sepatu/sandal, ya itung-itung balas dendam lah. Kata Suamiku buat investasi di Indonesia nanti.
Ternyata bukan hanya body yang menghalangiku untuk memilih pakaian, statusku sebagai Ibu dua anak juga sangat mempengaruhiku. Pernah suatu saat aku pake baju (yang kata orang sok ABG) dan aku padankan dengan celana jins dan sepatu ket. Eh ada saudaraku yang berkomentar "Nik, kamu itu harus sadar dua hal sebelum berpakaian. Satu, body kamu tuh enggak pantas pake baju neko-neko. Dua, kamu itu udah punya anak dua lho." Ya Allah, sedih sekaliiii. Memang aku punya dua anak, bahkan anak pertamaku sudah umur 9 tahun, tapi lagi-lagi aku pengen teriak kalau aku juga masih MUDA, umurku masih dua puluh delapan tahun.
Pernah juga keponaan sepupu dari suamiku laporan ke mertuaku, saat itu aku masih kuliah S1, dia bilang ke mertuaku "Mbah, Mbak Ninik tuh sok kayak anak muda, masak pakenya celana jins, bawa tas ransel, dan suka lihat konser lagi." Kan waktu aku kuliah, aku sudah punya anak. Tapi syukur banget mertuaku orangnya moderat, mendapat laporan begitu, abah mertuaku jawabnya enteng aja "Ya enggak apa-apa, Ninik kan emang juga masih muda." Ihhhhhhh kapooooookkk rasain deh hehehe.
Satu-satunya orang yang tidak pernah protes dengan pakaian dan tubuhku, dan hanya didepan dia aku selalu pede dengan tubuhku adalah MY BELOVED HUSBAND. Thanks ya sayang.
Terlepas dari itu semua, sebenernya aku pengen berontak dari body image yang berkembang di masyarakat, tapi sulit banget. Sering kali aku merasa Ugly, karena di satu sisi aku sudah fokus mempelajari tentang gander, tapi di sisi lain aku masih sangat terpengaruh dengan body image yang jelas-jelas social construction dari budaya patriachy ini.
OK teman, bebaskan BODY mu dari semua yang mengekang. The person who has your body is only you.
Hawaii, September 13, 2008
Kayaknya paper ini benar-benar sama dengan kondisiku. Seperti yang telah dilihat dan diketahui bersama, kalau size tubuhku termasuk besar. Kalau di US, aku merasa sangat nyaman dengan tubuhku, maksudnya walaupun tubuhku gendut tapi aku enjoy. Mungkin karena ukuran tubuh orang US juga banyak yang gede, jadi aku merasa tidak sendiri. Mungkin juga aku merasa pede karena aku bisa dengan mudah mencari ukuran bajuku di US, bahkan ukuran bajuku masih termasuk L, padahal di US ada ukuran baju yang X5L. Mungkin juga kenyamananku karena orang sini tidak perduli dengan ukuran tubuh, jadi tidak pernah ada yang mengomentari tubuhku.
Tapi kondisi ini berbalik 100% kalau aku di Indonesia. Sebenernya dibawah alam sadarku, aku sangat ketakutan dengan ketidak nyamanan ukuran tubuhku bila aku di Indonesia. Ampe sebulan sebelum pulang biasanya aku sudah mulai belajar peace dengan komentar2 yang bakal aku terima, aku juga belajar peace dengan hatiku yang terus brontak dengan bebagai macam "pelecehan" yang aku terima.
DI Indonesia, kalau aku ketemu teman or saudara, bisa dapat dipastikan komentarnya seragam "Lho, nduk kok tambah gemuk ya." Hatiku sebenernya protes kenapa sih mereka selalu tanya seperti itu, kenapa mereka tidak mementingkan bertanya gimana kondisi sekolahku or kesehatanku misalnya, dari pada hanya ngomongin tubuh. Tapi lagi-lagi semua protes hanya aku simpan dalam kegetiran hati.
Belum lagi kalau aku harus nyari baju. Ampuuuuuuunnnnn benar-benar perjuangan. Perasaan jengkel, malu dan sebel sering menyerangku. Bayangkan suatu saat aku pernah masuk ke pusat perbelanjaan, terus aku lihat-lihat baju, ada baju yang menarik, aku tanya ke penjaganya untuk minta ukuran yang paling gede, tapi ternyata setelah aku coba tetep aja tidak muat. Mau tau komentar penjaganya itu "Wah Mbak, ukuran baju ini yang paling besar. Yang salah kayaknya bukan ukuran bajunya sih, tapi badan mbak." TUHANNNNN, andaikan saat itu Allah mencabut sedikit aja kesadaranku, pasti penjaga itu sudah aku tonjokkkkkkkk. Aku benar-benar hanya jadi penonton kalau lagi shopping dengan teman-teman ke outlet2, la gimana lawong semua baju dan celana hanya untuk ukuran orang yang 'kecil'.
Itu baru urusan baju, belum lagi dengan sandal/sepatu. Untuk ukuran cewek, ukuran kakiku emang gede. Sekitar nomor 40/41. Dan tahu sendirilah sulit nyari sandal /sepatu lucu-lucu yang seukuran itu. Pernah aku muter nyari sepatu untuk acara wisuda dengan temanku. Pengennya sepatu yang agak berhak, biar pantas dipandankan dengan songket. Tapi perburuan selama dua hari di Jogja, tidak juga menemukan sepatu itu. Temenku sampe komentar "Dasar kaki gajah." Di US, aku seperti menemukan tempatku, aku bisa dengan mudah mencari sepatu or sandal yang sesuai dengan ukuran kakiku. Makanya sekarang aku sering banget shopping sepatu/sandal, ya itung-itung balas dendam lah. Kata Suamiku buat investasi di Indonesia nanti.
Ternyata bukan hanya body yang menghalangiku untuk memilih pakaian, statusku sebagai Ibu dua anak juga sangat mempengaruhiku. Pernah suatu saat aku pake baju (yang kata orang sok ABG) dan aku padankan dengan celana jins dan sepatu ket. Eh ada saudaraku yang berkomentar "Nik, kamu itu harus sadar dua hal sebelum berpakaian. Satu, body kamu tuh enggak pantas pake baju neko-neko. Dua, kamu itu udah punya anak dua lho." Ya Allah, sedih sekaliiii. Memang aku punya dua anak, bahkan anak pertamaku sudah umur 9 tahun, tapi lagi-lagi aku pengen teriak kalau aku juga masih MUDA, umurku masih dua puluh delapan tahun.
Pernah juga keponaan sepupu dari suamiku laporan ke mertuaku, saat itu aku masih kuliah S1, dia bilang ke mertuaku "Mbah, Mbak Ninik tuh sok kayak anak muda, masak pakenya celana jins, bawa tas ransel, dan suka lihat konser lagi." Kan waktu aku kuliah, aku sudah punya anak. Tapi syukur banget mertuaku orangnya moderat, mendapat laporan begitu, abah mertuaku jawabnya enteng aja "Ya enggak apa-apa, Ninik kan emang juga masih muda." Ihhhhhhh kapooooookkk rasain deh hehehe.
Satu-satunya orang yang tidak pernah protes dengan pakaian dan tubuhku, dan hanya didepan dia aku selalu pede dengan tubuhku adalah MY BELOVED HUSBAND. Thanks ya sayang.
Terlepas dari itu semua, sebenernya aku pengen berontak dari body image yang berkembang di masyarakat, tapi sulit banget. Sering kali aku merasa Ugly, karena di satu sisi aku sudah fokus mempelajari tentang gander, tapi di sisi lain aku masih sangat terpengaruh dengan body image yang jelas-jelas social construction dari budaya patriachy ini.
OK teman, bebaskan BODY mu dari semua yang mengekang. The person who has your body is only you.
Hawaii, September 13, 2008
Ayat-Ayat Cinta dalam Kritik
Aku sudah pernah nonton film AAC berkali-kali, semalam film ini di putar di Korean Studies Centre, yang mengadakan adalah program Southeast Asia Department. Sebenernya muales nonton, cuman Babah belum pernah nonton dan minta ditemani, ya udah wes aku nonton, sambil bawa minum dan beberapa buah untuk buka puasa.
Ada sekitar 50-an orang yang nonton, kebanyakan dari mereka adalah student-student yang konsentrasi di bidang Indonesia, salah satunya si Bule gila satu ini, Lance. Selain pinter bahasa Indonesai, dan focus penelitiannya tentang suku Bajo di SUlawesi, dia juga penggila masakan Indonesia. Kata teman-teman, Si Lance ini orang Indonesia yang kebetulan lahir di US,hehhe.
Setelah nonton, aku, Babah dan Lance berdiskusi. Kata Lance, nih film membingungkan, apasih pesan yang akan dikirimkan, kok kayaknya pesan yang di awal film dan di akhir film berbeda. Kemudian sambil berjalan pulang menuju Dormitory, Lance mengkritisi film yang menghebohkan ini. Dia bilang, "ketika di awal film, aku pikir film ini bagus banget, yakni menceritakan tentang hubungan orang Islam yang sholeh dan orang Kristen yang baik. Tapi ketika masuk akhir-akhir, kok jadi tentang Poligami?".
Lance juga mengaku bingung kenapa sih setiap kali tokoh Maria mengeluarkan darah dari hidungnya pasti jatuhnya di tangan kirinya yang ada tato salibnya?, apa maksudnya?. Apakah itu sebagai symbol bahwa Maria akan menghapus tanda salib tersebut? Atau sebagai sinyal kalau Maria akan convert to Islam?.Jadi pesan yang hendak dibawa oleh film ini tumpang tindih dan tidak jelas.
Sempat pula dipertanyakan oleh Lance tentang bagaimana reaksi orang Kristen terhadap film ini. Sejauh sepengetahuanku sepertinya film ini tidak menuai protes apa-apa dari orang Kristen. aku tidak tahu, apakah karena orang Kristen Indonesia tidak berani berkomentar? atau karena mereka tidak mempermasalahkan hal tersebut? atau bahkan karena mereka tidak pernah menonton film ini?.
Walaupun aku udah nonton film ini lebih dari satu kali, tapi terus terang aku tidak pernah berpikir sejauh itu, mungkin setting pikiranku sebagai orang Islam dan Indonesia berbeda dengan cara melihat dari seorang Lance yang America terhadap film ini. Aku jadi ingat komentar seorang kawan di Indonesia setelah melihat film ini "Akhirnya si Maria masuk Islam juga ya, alhamdulillah." Ini tentu berbeda dengan Lance yang berkomentar, "Kalau aku jadi sutradaranya, aku tetep biarkan Maria itu sebagai Kristen Coptic, biar di situ terlihat keharmonisan hubungan Islam dan Kristen, dan aku pikir ini akan menjadi gambaran yang bagus bahwa Islam itu sebenernya benar-benar agama yang peace."
Lalu bagaimana dengan pendapat anda sendiri? salam
Hawaii, September 13, 2008
Ada sekitar 50-an orang yang nonton, kebanyakan dari mereka adalah student-student yang konsentrasi di bidang Indonesia, salah satunya si Bule gila satu ini, Lance. Selain pinter bahasa Indonesai, dan focus penelitiannya tentang suku Bajo di SUlawesi, dia juga penggila masakan Indonesia. Kata teman-teman, Si Lance ini orang Indonesia yang kebetulan lahir di US,hehhe.
Setelah nonton, aku, Babah dan Lance berdiskusi. Kata Lance, nih film membingungkan, apasih pesan yang akan dikirimkan, kok kayaknya pesan yang di awal film dan di akhir film berbeda. Kemudian sambil berjalan pulang menuju Dormitory, Lance mengkritisi film yang menghebohkan ini. Dia bilang, "ketika di awal film, aku pikir film ini bagus banget, yakni menceritakan tentang hubungan orang Islam yang sholeh dan orang Kristen yang baik. Tapi ketika masuk akhir-akhir, kok jadi tentang Poligami?".
Lance juga mengaku bingung kenapa sih setiap kali tokoh Maria mengeluarkan darah dari hidungnya pasti jatuhnya di tangan kirinya yang ada tato salibnya?, apa maksudnya?. Apakah itu sebagai symbol bahwa Maria akan menghapus tanda salib tersebut? Atau sebagai sinyal kalau Maria akan convert to Islam?.Jadi pesan yang hendak dibawa oleh film ini tumpang tindih dan tidak jelas.
Sempat pula dipertanyakan oleh Lance tentang bagaimana reaksi orang Kristen terhadap film ini. Sejauh sepengetahuanku sepertinya film ini tidak menuai protes apa-apa dari orang Kristen. aku tidak tahu, apakah karena orang Kristen Indonesia tidak berani berkomentar? atau karena mereka tidak mempermasalahkan hal tersebut? atau bahkan karena mereka tidak pernah menonton film ini?.
Walaupun aku udah nonton film ini lebih dari satu kali, tapi terus terang aku tidak pernah berpikir sejauh itu, mungkin setting pikiranku sebagai orang Islam dan Indonesia berbeda dengan cara melihat dari seorang Lance yang America terhadap film ini. Aku jadi ingat komentar seorang kawan di Indonesia setelah melihat film ini "Akhirnya si Maria masuk Islam juga ya, alhamdulillah." Ini tentu berbeda dengan Lance yang berkomentar, "Kalau aku jadi sutradaranya, aku tetep biarkan Maria itu sebagai Kristen Coptic, biar di situ terlihat keharmonisan hubungan Islam dan Kristen, dan aku pikir ini akan menjadi gambaran yang bagus bahwa Islam itu sebenernya benar-benar agama yang peace."
Lalu bagaimana dengan pendapat anda sendiri? salam
Hawaii, September 13, 2008
Face of Muhammad
Aku mengambil kelas Islamic Philosophy dengan Dr. Tamara Albertini, seorang American yang pinter berbahasa Arab dan ahli filsafat Islam. Basically, di kelas ini aku ingin melihat bagaimana seorang America melihat filsafat Islam. Sekaligus di kelas ini aku pengen mereview pelajaran tentang filsafat Islam yang pernah aku dapat di S1 dulu.
Walaupun secara keseluruhan yang disampaikan oleh Albertini bukan new things bagiku, tapi tetep aja menarik mengikuti diskusi di kelas. Tadi ada seorang kawan yang bertanya tentang bagaimana face of Muhammad. Albertini menunjukkan beberapa gambar yang menceritakan ketika Muhammad dilahirkan, terus ada juga gambar Muhammad ketika melakukan Isra' Mi'raj, dan gambar facenya Muhammad yang agak jelas yaitu gambar yang menunjukkan ketika Muhammad mengangkat hajar aswad dan meletakkannya di kain yang dipegang oleh beberapa orang dari suku-suku yang ada di Makkah. Albertini mendapatkan gambar-gambar tersebut dari berbagai manuscrip yang tersebar di perpustakaan Eropa dan US.
Saat itu aku langsung teringat guru mengajiku di desa dulu yang mengatakan bahwa wajah Muhammad tidak bisa digambarkan, karena Muhammad adalah the perfect person in the world. Guru mengajiku bahkan berani mempersentasikan kecakapan Nabi Muhammad. Menurut Beliau, kegantengan Muhammad itu adalah setengah dunia, sedangkan Nabi Yusuf seperempat dunia, lalu seperempat lainnya dibagikan ke seluruh umat manusia. Jadi usaha menggambarkan Muhammad bisa dikategorikan sebagai bentuk pelecehan terhadap Muhammad, sebab Muhammad diyakini pasti jauh lebih sempurna dari gambaran tersebut. Bahkan menurut guru ngajiku tersebut membayangkan wajah Muhammad aja kita tidak mampu. Dan sepertinya pandangan tersebut yang banyak di pegang oleh umat Islam di Indonesia, jadi sangat wajarlah ketika ada kartun tentang Muhammad, terlebih kartun tersebut sangat mendiskriditkan Muhammad, umat Islam langsung murka. Aku sendiri secara personal belum pernah menemukan rujukan yang bisa jadi reference hukum menggambar wajah Muhammad, dan hingga kini aku juga tidak tahu rujukan yang dipakai guru ngajiku tersebut.
Wah gimana ya kira-kira reaksi guru ngajiku kalau mengetahui Muhammad digambar?
Walaupun secara keseluruhan yang disampaikan oleh Albertini bukan new things bagiku, tapi tetep aja menarik mengikuti diskusi di kelas. Tadi ada seorang kawan yang bertanya tentang bagaimana face of Muhammad. Albertini menunjukkan beberapa gambar yang menceritakan ketika Muhammad dilahirkan, terus ada juga gambar Muhammad ketika melakukan Isra' Mi'raj, dan gambar facenya Muhammad yang agak jelas yaitu gambar yang menunjukkan ketika Muhammad mengangkat hajar aswad dan meletakkannya di kain yang dipegang oleh beberapa orang dari suku-suku yang ada di Makkah. Albertini mendapatkan gambar-gambar tersebut dari berbagai manuscrip yang tersebar di perpustakaan Eropa dan US.
Saat itu aku langsung teringat guru mengajiku di desa dulu yang mengatakan bahwa wajah Muhammad tidak bisa digambarkan, karena Muhammad adalah the perfect person in the world. Guru mengajiku bahkan berani mempersentasikan kecakapan Nabi Muhammad. Menurut Beliau, kegantengan Muhammad itu adalah setengah dunia, sedangkan Nabi Yusuf seperempat dunia, lalu seperempat lainnya dibagikan ke seluruh umat manusia. Jadi usaha menggambarkan Muhammad bisa dikategorikan sebagai bentuk pelecehan terhadap Muhammad, sebab Muhammad diyakini pasti jauh lebih sempurna dari gambaran tersebut. Bahkan menurut guru ngajiku tersebut membayangkan wajah Muhammad aja kita tidak mampu. Dan sepertinya pandangan tersebut yang banyak di pegang oleh umat Islam di Indonesia, jadi sangat wajarlah ketika ada kartun tentang Muhammad, terlebih kartun tersebut sangat mendiskriditkan Muhammad, umat Islam langsung murka. Aku sendiri secara personal belum pernah menemukan rujukan yang bisa jadi reference hukum menggambar wajah Muhammad, dan hingga kini aku juga tidak tahu rujukan yang dipakai guru ngajiku tersebut.
Wah gimana ya kira-kira reaksi guru ngajiku kalau mengetahui Muhammad digambar?
Perempuan Bercadar dan Strereotype
Saya belum pernah punya kawan yang bercadar. Tapi dulu, saat Kuliah Kerja Nyata (KKN) S1 teman satu post saya adalah pemakai jilbab besar. Dari situ saya belajar banyak, bagaimana prinsip dan pandangan perempuan-perempuan yang lebih suka menutup seluruh tubuhnya dengan baju yang longgar dan jilbab yang nyaris menutup sebagian tubuhnya. Teman saya ini orangnya asik, bahkan dia hobi ngebut kalau naik motor. Saya enjoy mengobrol dengan dia. Kami suka berdiskusi banyak hal. Walaupun saya termasuk penyuka celana jeans, tapi teman saya ini tidak pernah menghakimi, atau menggurui. Dia berpikir cara berpakaian adalah sifatnya individual. Tidak ada yang salah dalam berpakaian, karena tergantung bagaimana orang mengenali dirinya sendiri.
Sejak saat itu saya tidak pernah memandang sebelah mata pada orang yang berpakaian beda dengan saya. Kadang saya berpikir, apakah mereka tidak ribet atau kepanasan memakai pakaian sepeti itu?. Tapi bisa jadi mereka berpikiran yang sama ke saya, apakah saya tidak malu memakai celan jins yang notabene memperlihatkan lekukan kaki saya? Jadi impaskan?? Menurut saya, sebenarnya pikiran-pikiran itu muncul ketika kita tidak saling kenal atau mengetahui.
Ketika di TV dihebohkan dengan pemberitaan tentang teroris, yang notabene perempuan-perempuan yang dekat dengan mereka selalu menggunakan cadar, saya jadi berpikir. Apakah mereka itu juga sangat seekslusif cara berpakaiannya? ataukah mereka orang yang enak juga diajak berdiskusi seperti halnya teman saya?
Beberawa waktu lalu saya berputar-putar mencari rumah kontrakan di Yogyakarta. Saat proses mencari kontrakan ini, saya menemukan kenyataan baru tentang perempuan bercadar. Saat mengobrol dengan seorang bapak dan Ibu yang kebetulan rumah orang tuanya akan dikontrakkan, Ibu itu bilang,"Dua hari lalu sebenarnya ada orang yang sudah melihat rumah itu, tempat dan harga sudah cocok, tapi Pak RT menganjurkan untuk tidak menerima pengontrak tersebut." Saya pun heran, menurut ibu tersebut sang calon pengontrak ini istrinya memakai cadar. Masih menurut Ibu tadi, di beberapa tempat banyak perempuan bercadar yang diusir dari kontrakan. Bahkan ada yang mau mengontrak dua tahun, tapi baru berjalan dua bulan sudah diminta keluar.
Saya prihatin sekali dengan kondisi ini. Tapi saya mencoba melihat dari dua sisi. Andaikan saya menjadi pemilik kontrak tentu saya memiliki kekhawatiran yang tidak berbeda. Media telah membentuk persepsi bahwa orang yang bercadar dan juga keluarganya harus dicurigai sebagai orang-orang dari kelompok teroris. Lalu apakah semua perempuan bercadar juga anggota teroris?. Saya bayangkan betapa sakit dan sedihnya para perempuan itu terusir dari kontrakan dan sulit diterima di masyarakat. Mereka juga selalu dipandang sebagai orang yang harus dicurigai sebagai teroris. Padahal jelas-jelas belum tentu mereka bersalah. Hanya karena segelintir orang yang membuat teror, imbasnya mengenai ke banyak orang.
Walaupun memang benar kebanyakan perempuan terdekat para teroris tersebut memakai jilbab bercadar, tapi apakah mereka adalah bagian dari jaringan tersebut?. kenyataan yang ada kebanyakan dari mereka juga korban. Lihat perempuan-perempuan yang hanya digunakan oleh Nurdin M Top sebagai tameng persembunyian. Mereka dinikahi dengan mengunakan nama palsu, setelah memiliki anak mereka ditinggal. Lagi-lagi perempuan menjadi korban. Bila melihat kenyataan ini, perempuan menjadi korban dua kali. Pertama mereka dinikahi dengan tidak bertanggung jawab, lalu mereka juga harus menanggung beban atas asumsi masyarakat.
Melihat kondisi seperti ini, seharusnya pemerintah turut ambil bagian dalam mengatasi masalah. Semisal, perempuan bercadar dan keluarganya diberi surat pengantar dari perangkat desa yang nantinya bisa menjadi bukti bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak terlibat jaringan teroris. Surat ini akan menjadi jaminan bagi mereka untuk bisa diterima oleh masyarakat dan akhirnya mereka akan bisa mendapat tempat tinggal. Bayangkan ketika mereka tidak memeliki tempat tinggal, dimana mereka akan tidur? Bagaimana dengan anak-anak mereka?. Siapun mereka, dan bagaimanapun cara berpakaian mereka, tetap saja mereka adalah manusia dan warga Indonesia yang negara harus turut menjamin kehidupan yang layak.
Sejak saat itu saya tidak pernah memandang sebelah mata pada orang yang berpakaian beda dengan saya. Kadang saya berpikir, apakah mereka tidak ribet atau kepanasan memakai pakaian sepeti itu?. Tapi bisa jadi mereka berpikiran yang sama ke saya, apakah saya tidak malu memakai celan jins yang notabene memperlihatkan lekukan kaki saya? Jadi impaskan?? Menurut saya, sebenarnya pikiran-pikiran itu muncul ketika kita tidak saling kenal atau mengetahui.
Ketika di TV dihebohkan dengan pemberitaan tentang teroris, yang notabene perempuan-perempuan yang dekat dengan mereka selalu menggunakan cadar, saya jadi berpikir. Apakah mereka itu juga sangat seekslusif cara berpakaiannya? ataukah mereka orang yang enak juga diajak berdiskusi seperti halnya teman saya?
Beberawa waktu lalu saya berputar-putar mencari rumah kontrakan di Yogyakarta. Saat proses mencari kontrakan ini, saya menemukan kenyataan baru tentang perempuan bercadar. Saat mengobrol dengan seorang bapak dan Ibu yang kebetulan rumah orang tuanya akan dikontrakkan, Ibu itu bilang,"Dua hari lalu sebenarnya ada orang yang sudah melihat rumah itu, tempat dan harga sudah cocok, tapi Pak RT menganjurkan untuk tidak menerima pengontrak tersebut." Saya pun heran, menurut ibu tersebut sang calon pengontrak ini istrinya memakai cadar. Masih menurut Ibu tadi, di beberapa tempat banyak perempuan bercadar yang diusir dari kontrakan. Bahkan ada yang mau mengontrak dua tahun, tapi baru berjalan dua bulan sudah diminta keluar.
Saya prihatin sekali dengan kondisi ini. Tapi saya mencoba melihat dari dua sisi. Andaikan saya menjadi pemilik kontrak tentu saya memiliki kekhawatiran yang tidak berbeda. Media telah membentuk persepsi bahwa orang yang bercadar dan juga keluarganya harus dicurigai sebagai orang-orang dari kelompok teroris. Lalu apakah semua perempuan bercadar juga anggota teroris?. Saya bayangkan betapa sakit dan sedihnya para perempuan itu terusir dari kontrakan dan sulit diterima di masyarakat. Mereka juga selalu dipandang sebagai orang yang harus dicurigai sebagai teroris. Padahal jelas-jelas belum tentu mereka bersalah. Hanya karena segelintir orang yang membuat teror, imbasnya mengenai ke banyak orang.
Walaupun memang benar kebanyakan perempuan terdekat para teroris tersebut memakai jilbab bercadar, tapi apakah mereka adalah bagian dari jaringan tersebut?. kenyataan yang ada kebanyakan dari mereka juga korban. Lihat perempuan-perempuan yang hanya digunakan oleh Nurdin M Top sebagai tameng persembunyian. Mereka dinikahi dengan mengunakan nama palsu, setelah memiliki anak mereka ditinggal. Lagi-lagi perempuan menjadi korban. Bila melihat kenyataan ini, perempuan menjadi korban dua kali. Pertama mereka dinikahi dengan tidak bertanggung jawab, lalu mereka juga harus menanggung beban atas asumsi masyarakat.
Melihat kondisi seperti ini, seharusnya pemerintah turut ambil bagian dalam mengatasi masalah. Semisal, perempuan bercadar dan keluarganya diberi surat pengantar dari perangkat desa yang nantinya bisa menjadi bukti bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak terlibat jaringan teroris. Surat ini akan menjadi jaminan bagi mereka untuk bisa diterima oleh masyarakat dan akhirnya mereka akan bisa mendapat tempat tinggal. Bayangkan ketika mereka tidak memeliki tempat tinggal, dimana mereka akan tidur? Bagaimana dengan anak-anak mereka?. Siapun mereka, dan bagaimanapun cara berpakaian mereka, tetap saja mereka adalah manusia dan warga Indonesia yang negara harus turut menjamin kehidupan yang layak.
Monday, March 22, 2010
How was the Gender Role in Kraton
When I joined fieldtrip at Sultan Palace last Monday, I was shock when the guide described the different clothes for married and unmarried women in Sultan’s family. For unmarried women, they wore kemben (a long narrow sash worn at or above the waist), and for married women, their clothes covered all body. What is the reason behind this? It is interesting for me. I think that it is not just natural rule but there must be philosophical reasons. Islam was known in kingdom family since around 17-18 century, but the tradition of clothes for women did not change. In fact, Sultan Hamengkubono IX established a mosque. It indicates that Islam had been followed. Indeed, Islam promoted that women should cover their whole body, and it did not any differences for unmarried or married women. Therefore, while until recently unmarried women still wore kemben, it means that Islam tenets did not influence in the daily life. I am sure that the clothes code affects in life. So I am wondering to know how women’s role before and after married in Sultan’s family.
Another thing is the carriage for permasuri (King’s wife). It is too small, and according to the guide, it was used. I cannot image how she set on the carriage. I think that it is impossible if she laid down in the carriage. Again, I do not believe that it was made without any purpose. I am sure that gender reason became one of the causes when it was created. The carriage totally is dissimilar with King’s carriage. For the King, carriage is open, so people from outside could see King easily. For permasuri, the carriage is like a box. As a result, permasuri and people from outside could not see each other. I think that studying the gender roles in Sultan family with using these kinds of Sultan’s heritages will enrich the knowledge regarding women’s position and role in Sultan’s family
Another thing is the carriage for permasuri (King’s wife). It is too small, and according to the guide, it was used. I cannot image how she set on the carriage. I think that it is impossible if she laid down in the carriage. Again, I do not believe that it was made without any purpose. I am sure that gender reason became one of the causes when it was created. The carriage totally is dissimilar with King’s carriage. For the King, carriage is open, so people from outside could see King easily. For permasuri, the carriage is like a box. As a result, permasuri and people from outside could not see each other. I think that studying the gender roles in Sultan family with using these kinds of Sultan’s heritages will enrich the knowledge regarding women’s position and role in Sultan’s family
Saturday, March 13, 2010
Ninik Wafiroh: What Do Al-Quran and Bible Say about Interfaith Relationship?
Actually, this note is for my interfaith dialogue class. I think that the articles are interesting, so I want to share my opinion regarding the articles in this space.
Discussion for today is quite interesting for me since we attempt to connect the interfaith dialogue to the Holy Books. I do believe that introducing interfaith dialogue with using Holy Books will be more effective to encourage people. Some people still think that they will follow whatever their Holy Books say. If Holy Books do not mention about such a point, they are reluctant to follow. Therefore, persuasion with using Quran and Bible, I think, will hook in the core.
I am a Muslim, and I graduated from Tafsir and Hadits major when I was in undergraduate level. However, I am still surprise when I read the article from Issa J. Boullata, “Fa-stabiqu ‘l-khayrat: A Qur’anic Principle of Interfaith Relations.” Actually, the tafsir that he uses in his articles are famous tafsir among Muslims, but the interpretation of the theme is rarely addressed. Usually the term Fa-stabiqu ‘l-khayra is only used for the fair competition. It is hardly found for interfaith relationship.
The main ayah that Boullata notes is surah al-Maidah, ayah 48. The full translation for it from Yusuf Ali is :
To thee We sent the Scripture in truth, confirming the scripture that came before it, and guarding it in safety: so judge between them by what Allah hath revealed, and follow not their vain desires, diverging from the Truth that hath come to thee. To each among you have we prescribed a law and an open way. If Allah had so willed, He would have made you a single people, but (His plan is) to test you in what He hath given you: so strive as in a race in all virtues. The goal of you all is to Allah. it is He that will show you the truth of the matters in which ye dispute.
Basically, Boullata describes that there are two main arguments about Fa-stabiqu ‘l-khayra, particularly in the word li-kull-in. First argument is that the term refers not only for single religion but also all people from different religious communities. It indicates that every religion has a different law. In contrast, second argument argues that it is specific only for Muhammad’s community and it is closing the opportunity for other communities or other religions. In this case, I share argument with Boullata that actually Quran accepts the existence of other faith. Indeed, it opens the door to make interfaith dialogue. Allah in some ayah strongly says that the differences among people have the purpose to enrich people in order to know each other. Thus, we cannot deny the different faith among people and we have to admit that Allah creates us differently to learn each other.
Like Quran, Bible, particularly in Old Testament, gives the great story of the relationship between Israel and Canaanite. It indicates that Bible receives the different faith. Indeed, Jesus learned from Canaanite woman. I think that it is not a simple case. From what Jesus did, we are able to figure out that Jesus taught us to admit other faith and we have to learn from them not to fight each other.
Both cases are extremely strong arguments for interfaith dialogue. However, in reality, they are rarely to be used to promote interfaith dialogue.
Discussion for today is quite interesting for me since we attempt to connect the interfaith dialogue to the Holy Books. I do believe that introducing interfaith dialogue with using Holy Books will be more effective to encourage people. Some people still think that they will follow whatever their Holy Books say. If Holy Books do not mention about such a point, they are reluctant to follow. Therefore, persuasion with using Quran and Bible, I think, will hook in the core.
I am a Muslim, and I graduated from Tafsir and Hadits major when I was in undergraduate level. However, I am still surprise when I read the article from Issa J. Boullata, “Fa-stabiqu ‘l-khayrat: A Qur’anic Principle of Interfaith Relations.” Actually, the tafsir that he uses in his articles are famous tafsir among Muslims, but the interpretation of the theme is rarely addressed. Usually the term Fa-stabiqu ‘l-khayra is only used for the fair competition. It is hardly found for interfaith relationship.
The main ayah that Boullata notes is surah al-Maidah, ayah 48. The full translation for it from Yusuf Ali is :
To thee We sent the Scripture in truth, confirming the scripture that came before it, and guarding it in safety: so judge between them by what Allah hath revealed, and follow not their vain desires, diverging from the Truth that hath come to thee. To each among you have we prescribed a law and an open way. If Allah had so willed, He would have made you a single people, but (His plan is) to test you in what He hath given you: so strive as in a race in all virtues. The goal of you all is to Allah. it is He that will show you the truth of the matters in which ye dispute.
Basically, Boullata describes that there are two main arguments about Fa-stabiqu ‘l-khayra, particularly in the word li-kull-in. First argument is that the term refers not only for single religion but also all people from different religious communities. It indicates that every religion has a different law. In contrast, second argument argues that it is specific only for Muhammad’s community and it is closing the opportunity for other communities or other religions. In this case, I share argument with Boullata that actually Quran accepts the existence of other faith. Indeed, it opens the door to make interfaith dialogue. Allah in some ayah strongly says that the differences among people have the purpose to enrich people in order to know each other. Thus, we cannot deny the different faith among people and we have to admit that Allah creates us differently to learn each other.
Like Quran, Bible, particularly in Old Testament, gives the great story of the relationship between Israel and Canaanite. It indicates that Bible receives the different faith. Indeed, Jesus learned from Canaanite woman. I think that it is not a simple case. From what Jesus did, we are able to figure out that Jesus taught us to admit other faith and we have to learn from them not to fight each other.
Both cases are extremely strong arguments for interfaith dialogue. However, in reality, they are rarely to be used to promote interfaith dialogue.
Friday, March 13, 2009
Who is your circle of esteem?
Robert Cribb discusses about the circle of esteem, standard works and euphoric couplets. I think, Cribb is such a skeptic person. However, in some arguments, I share opinion with him. In term of circle of esteem, I think it might be also related to the Bigalke’s writing. The circle of esteem could arrange from the points of keys. Such a student, I also ask my self that am I a member of circle of esteem? If so, what am I going to receive and give to be the member? If not, why am I not a member of circle of esteem and what could happen? Or do I need becoming a member?
Cribb states that the production of knowledge as an industrial process, which means that everything depends on the market demands. I think that circle of esteem might be as a vehicle of industrial knowledge. If circle of esteem works under industrial demands, for sure the ideal of research will lose. Actually, the case of industrial knowledge also manacles students. When they received scholarships, they should research under the request of the funding.
Standard works and euphoric couplets are parts of a role in circle of esteem. Standard works is the references that are always used to be reliable citations for scholars. As a result, the researchers never move from the circle. So who make the standard works? Indeed, I am not able to find the certain criteria of standard works from Cribb. I think when Cribb describes about how to write the standard works, it is uncertain. There are many quality books about Indonesia, for instance, but they are not included to be standard works. Does standard works link to the industrial knowledge? Is standard works the new face of hegemony of knowledge?
For people who have initiative to do outside the standard works, they choose euphoric couplets. With the provocative terms, researchers break in the standard works. Circle takes some example books and articles of euphoric couplets such as “imagined community” by Benedict Anderson. However, I think right now there are many book such Anderson’s books that already become the primary references of researchers, so can they be categorized that they are standard works? if so, do we need “new” euphoric couplets?.
Subscribe to:
Posts (Atom)