Sunday, September 26, 2010

Menggagas Tafsir Moderat

Dr Sahiron Syamsuddin
(Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Akhir-akhir ini di belahan Dunia Islam, termasuk Indonesia, muncul kecenderungan sebagian umat Islam untuk menafsirkan teks-teks keagamaan (Alquran dan hadis) secara literal.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya fenomena ini, di antaranya adalah berikut ini. Pertama, pemahaman dan penafsiran muncul sebagai antitesis terhadap modernitas. Sebagian umat Islam memandang bahwa modernitas cenderung lebih mementingkan aspek-aspek materialistik dan duniawi, serta meninggalkan aspek spiritual. Klimaks dari perasaan dan pandangan tersebut adalah bahwa mereka kembali ke teks-teks keagamaan yang dapat mengisi kebutuhan spiritual mereka. Kedua, dalam kondisi psikologis semacam itu, mereka ingin mendapatkan pencerahan dari agama secara instan. Mereka ingin mendapatkan tuntunan dari Alquran dan hadis secepat mungkin.

Sebagai konsekuensinya, mereka mempelajari dan mengkaji kedua sumber utama tersebut dari terjemahan yang tentunya lebih menekankan makna literal. Konteks tekstual (yang komprehensif) dan konteks historis pun tidak mereka perhatikan secara seksama. Mereka tidak mau susah-susah untuk mendapatkan informasi-informasi di sekitar atau yang berkenaan dengan teks-teks keagamaan, karena untuk mengaksesnya dibutuhkan kemampuan ekstra, seperti penguasaan bahasa Arab, kaidah-kaidah tafsir (ushulut tafsir), ushul fikih, dan lain-lain, dan hal ini memerlukan waktu yang cukup lama, tidak instan. Ketiga, pemahaman literal juga, dalam beberapa kasus, disebabkan oleh faktor emosional tertentu. Karena kebencian dan kemarahan, misalnya, kepada sebuah negara, gerakan dan aliran tertentu, sebagian umat Islam lalu menjustifikasinya dengan ayat-ayat Alquran dan hadis tertentu dengan pemahaman yang literal dan apa adanya, meskipun sebenarnya ayat dan atau hadis itu tidak berkaitan sama sekali dengan masalah yang mereka sedang dihadapi.

Pemahaman dan penafsiran literal bukan tidak bermasalah. Problem-problem yang muncul dari bentuk penfasiran tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, ayat-ayat Alquran dan hadis dipahami dengan tidak komprehensif, tidak utuh, dan tentunya sepenggal-sepenggal. Munasabat al-ayat (keterkaitan antarayat) dan munasabat al-ahadis (keterkaitan antarhadis) tidak diperhatikan dengan baik. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya 'kesalahpahaman' (misunderstanding) yang seharusnya dihindari dalam proses pemahaman dan penafsiran. Kedua, pemahaman semacam ini bisa menyebabkan sebagian umat Islam menjadi 'ekstrem' dan eksklusif, hanya memandang penafsiran mereka sajalah yang benar.

Padahal, kita tahu bahwa keberagaman/pluralitas penafsiran terhadap sebuah ayat atau hadis tertentu mesti ada, bahkan sejak zaman awal-awal Islam. Sikap toleransi terhadap orang yang berbeda penafsiran terkikis dengan sendirinya. Ketiga, agama Islam terkesan garang, kejam, violent (penuh kekerasan), dan tidak humanis. Padahal, kita yakin Islam diturunkan sebagai rahmat bagi umat manusia. Hal ini tentunya menodai citra Islam sendiri di mata masyarakat.

Melihat problem-problem tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa kita perlu menciptakan model 'penafsiran moderat' (at-tafsir/at-ta'wil al-mutawazin al-muta'adil) terhadap teks-teks keagamaan. Prinsip-prinsip tafsir semacam ini adalah (1) memperhatikan secara seksama aspek bahasa dan konteks historis, seperti asbabun nuzul dan asbabul wurud, (2) memberikan posisi yang seimbang terhadap makna tersurat dan makna tersirat (ma'na dan maghza), (3) memperhatikan secara seimbang masa lalu (tradition) dan masa kini (modernitas), (4) mempertimbangkan aspek universal (universality) dan lokalitas (locality) teks keagamaan, dan (5) berpandangan bahwa hasil penafsirannya berada dalam batas kemampuan manusia, sehingga tetap bernuansa 'kebenaran relatif' (bukan kebenaran absolut), tidak mengklaim penafsirannya sebagai satu-satu penafsiran yang paling 'benar'. Pertanyaannya: Model penafsiran yang seperti apa yang memperhatikan kelima prinsip tersebut di atas?

Model 'penafsiran moderat' yang didasarkan pada kelima prinsip tersebut adalah apa yang bisa kita sebut dengan 'penafsiran ma'na-cum-maghza', yakni penafsiran yang berusaha menemukan makna asal (al-ma'na al-ashli) teks Alquran dan hadis dengan memperhatikan data-data sejarah dan linguistik (bahasa dan sastra) pada masa penurunan wahyu, sehingga mampu memahami spirit/makna terdalam dari teks-teks tersebut, dan kemudian melakukan penyesuaian terhadap makna terdalam itu dengan perdaban dan semangat hidup kontemporer/masa kini (maghza). Model penafsiran ini pernah digagas oleh, misalnya, Fazlurrahman dengan konsepnya double movement ('gerakan ganda') (Rahman: 5-7), Muhammad Talbi dengan konsepnya al-tafsir al-maqashidi (tafsir yang menekankan maqashid syar'iyyah) (Talbi 1992: 142-144) dan Nashr Hamid Abu Zayd dengan konsepnya al-tafsir al-siyaqi (tafsir kontekstual) (Abu Zayd 1995: 116).

Para sarjana tersebut memandang makna asal (bersifat historis) hanya sebagai pijakan awal bagi pembacaan Alquran dan hadis di masa kini; makna asal dan literal tidak mesti dipandang sebagai pesan utama. Menurut mereka, penafsir harus juga berusaha memahami makna di balik makna literal, yang disebut oleh Rahman dengan ratio legis.

SUMBER

No comments: