Dr Sahiron Syamsuddin
(Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Akhir-akhir ini di belahan Dunia Islam, termasuk Indonesia, muncul kecenderungan sebagian umat Islam untuk menafsirkan teks-teks keagamaan (Alquran dan hadis) secara literal.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya fenomena ini, di antaranya adalah berikut ini. Pertama, pemahaman dan penafsiran muncul sebagai antitesis terhadap modernitas. Sebagian umat Islam memandang bahwa modernitas cenderung lebih mementingkan aspek-aspek materialistik dan duniawi, serta meninggalkan aspek spiritual. Klimaks dari perasaan dan pandangan tersebut adalah bahwa mereka kembali ke teks-teks keagamaan yang dapat mengisi kebutuhan spiritual mereka. Kedua, dalam kondisi psikologis semacam itu, mereka ingin mendapatkan pencerahan dari agama secara instan. Mereka ingin mendapatkan tuntunan dari Alquran dan hadis secepat mungkin.
Sebagai konsekuensinya, mereka mempelajari dan mengkaji kedua sumber utama tersebut dari terjemahan yang tentunya lebih menekankan makna literal. Konteks tekstual (yang komprehensif) dan konteks historis pun tidak mereka perhatikan secara seksama. Mereka tidak mau susah-susah untuk mendapatkan informasi-informasi di sekitar atau yang berkenaan dengan teks-teks keagamaan, karena untuk mengaksesnya dibutuhkan kemampuan ekstra, seperti penguasaan bahasa Arab, kaidah-kaidah tafsir (ushulut tafsir), ushul fikih, dan lain-lain, dan hal ini memerlukan waktu yang cukup lama, tidak instan. Ketiga, pemahaman literal juga, dalam beberapa kasus, disebabkan oleh faktor emosional tertentu. Karena kebencian dan kemarahan, misalnya, kepada sebuah negara, gerakan dan aliran tertentu, sebagian umat Islam lalu menjustifikasinya dengan ayat-ayat Alquran dan hadis tertentu dengan pemahaman yang literal dan apa adanya, meskipun sebenarnya ayat dan atau hadis itu tidak berkaitan sama sekali dengan masalah yang mereka sedang dihadapi.
Pemahaman dan penafsiran literal bukan tidak bermasalah. Problem-problem yang muncul dari bentuk penfasiran tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, ayat-ayat Alquran dan hadis dipahami dengan tidak komprehensif, tidak utuh, dan tentunya sepenggal-sepenggal. Munasabat al-ayat (keterkaitan antarayat) dan munasabat al-ahadis (keterkaitan antarhadis) tidak diperhatikan dengan baik. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya 'kesalahpahaman' (misunderstanding) yang seharusnya dihindari dalam proses pemahaman dan penafsiran. Kedua, pemahaman semacam ini bisa menyebabkan sebagian umat Islam menjadi 'ekstrem' dan eksklusif, hanya memandang penafsiran mereka sajalah yang benar.
Padahal, kita tahu bahwa keberagaman/pluralitas penafsiran terhadap sebuah ayat atau hadis tertentu mesti ada, bahkan sejak zaman awal-awal Islam. Sikap toleransi terhadap orang yang berbeda penafsiran terkikis dengan sendirinya. Ketiga, agama Islam terkesan garang, kejam, violent (penuh kekerasan), dan tidak humanis. Padahal, kita yakin Islam diturunkan sebagai rahmat bagi umat manusia. Hal ini tentunya menodai citra Islam sendiri di mata masyarakat.
Melihat problem-problem tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa kita perlu menciptakan model 'penafsiran moderat' (at-tafsir/at-ta'wil al-mutawazin al-muta'adil) terhadap teks-teks keagamaan. Prinsip-prinsip tafsir semacam ini adalah (1) memperhatikan secara seksama aspek bahasa dan konteks historis, seperti asbabun nuzul dan asbabul wurud, (2) memberikan posisi yang seimbang terhadap makna tersurat dan makna tersirat (ma'na dan maghza), (3) memperhatikan secara seimbang masa lalu (tradition) dan masa kini (modernitas), (4) mempertimbangkan aspek universal (universality) dan lokalitas (locality) teks keagamaan, dan (5) berpandangan bahwa hasil penafsirannya berada dalam batas kemampuan manusia, sehingga tetap bernuansa 'kebenaran relatif' (bukan kebenaran absolut), tidak mengklaim penafsirannya sebagai satu-satu penafsiran yang paling 'benar'. Pertanyaannya: Model penafsiran yang seperti apa yang memperhatikan kelima prinsip tersebut di atas?
Model 'penafsiran moderat' yang didasarkan pada kelima prinsip tersebut adalah apa yang bisa kita sebut dengan 'penafsiran ma'na-cum-maghza', yakni penafsiran yang berusaha menemukan makna asal (al-ma'na al-ashli) teks Alquran dan hadis dengan memperhatikan data-data sejarah dan linguistik (bahasa dan sastra) pada masa penurunan wahyu, sehingga mampu memahami spirit/makna terdalam dari teks-teks tersebut, dan kemudian melakukan penyesuaian terhadap makna terdalam itu dengan perdaban dan semangat hidup kontemporer/masa kini (maghza). Model penafsiran ini pernah digagas oleh, misalnya, Fazlurrahman dengan konsepnya double movement ('gerakan ganda') (Rahman: 5-7), Muhammad Talbi dengan konsepnya al-tafsir al-maqashidi (tafsir yang menekankan maqashid syar'iyyah) (Talbi 1992: 142-144) dan Nashr Hamid Abu Zayd dengan konsepnya al-tafsir al-siyaqi (tafsir kontekstual) (Abu Zayd 1995: 116).
Para sarjana tersebut memandang makna asal (bersifat historis) hanya sebagai pijakan awal bagi pembacaan Alquran dan hadis di masa kini; makna asal dan literal tidak mesti dipandang sebagai pesan utama. Menurut mereka, penafsir harus juga berusaha memahami makna di balik makna literal, yang disebut oleh Rahman dengan ratio legis.
SUMBER
Showing posts with label Agama. Show all posts
Showing posts with label Agama. Show all posts
Sunday, September 26, 2010
Religious Studies in Islamic Institutes
The policy well-known as link-and-match in the national system of education, since it was first applied in the 1990s, has vastly inspired and prompted many high schools and higher learning institutions to set the programs of study that match and have direct links with demand in the job market.
It is therefore easy to understand, why at present most parents prefer to send their children to universities and colleges that offer a better possibility of employment afterwards, as the educational institutions promise students applicable and relevant expertise.
Islamic studies are not able to offer dream jobs for the graduates. Just look at the UIN/IAIN/STAIN (Islamic State University/Institute of Islamic Studies). These institutes often find difficulties in recruiting students.
Of five fields of Islamic sciences taught at those institute Syari'ah (Islamic law) Tarbiyah (education), Ushuluddin (fundamental of religion), Dakwah (religious propagation, and Adab (literature), the departments of Ushuluddin, Dakwah and Adab are increasingly enduring year-to-year low enrollment of freshmen.
What follows seems even more discouraging. The attempts of several Institutes of Islamic Studies (IAIN/STAIN) to transform their institute status into university level, for instance, IAIN Syarif Hidayatullah then becoming Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (Islamic State University), IAIN Sunan Kalijaga becoming UIN Sunan Kalijaga, and STAIN Malang becoming UIN Maulana Malik Ibrahim, are not very helpful to attracting more students.
Amid this academic predicament, meticulous but creative outlooks and solutions are absolutely needed in order to boost the academic appeal of Islamic studies and to figure out the imperative role that the field may play in the future. Islamic studies are different from religious studies. The latter is broader than the former in terms of the scope of study, methodology, and epistemological assumptions.
Islamic studies mainly deal with and put emphasis exclusively on one specific religion that is Islam and all its dimensions, whereas religious studies, known too as religionwissenschaft, embrace and focus on all religions in general and also absorb and apply a variety of disciplines and approaches that belong to philosophy and social sciences.
Religious studies began to be installed into the system of curriculum of IAIN in the early 1970s. The late Harun Nasution and Mukti Ali played a historic role in introducing the subject at IAIN Syarif Hidayatullah and IAIN Sunan Kalijaga during their tenure as the rectors of the respective institutions.
Islamic state institutes' stakeholders seemed to have realized from the outset that religious studies are very helpful in enhancing Islamic studies' framework. No doubt, it is to religious studies that Islamic studies owe contemporary approaches and methodologies, through which the latter became able to unravel and decipher religious issues in the more open-minded ways of thinking. Religious studies bring about fundamental principles such as respect for humanity, inclusive religiosity, pluralism and tolerance.
In its June 29, 2009, newsletter, Muhammad Ali Al-Hazaa, the head of the University of Jazan in Saudi Arabia, a newly established higher learning institution, pointed out that Saudi no longer needs graduates in (Islamic) religious studies, in view of the country's job market being saturated with graduates in the field, on the one hand and the rising trend of extremist movements, which have in fact been supplied by those who graduated from Islamic studies department. Meanwhile, universities are more reluctant to open the faculty of Islamic studies.
Indeed concern over Islamic studies' vulnerability to being sources of religious extremism, as Al-Hazaa alluded to, cannot be thwarted unless the stakeholders of Islamic learning institutions, be it universities, institutes, pesantren (Islamic boarding school) and madrassa, show the openness to integrate Islamic studies with contemporary approaches and analysis in religious studies that highly respect the principles of inclusive religiosity, multiculturalism, religious pluralism and diversity, toleration, and so forth.
With regard to the field of religious studies that has over three decades been thought in Islamic states institutes/universities, it has so far been indubitably making tremendous contribution to promoting not only discourses but also actions that favor interfaith dialogues, respect for religious pluralism and inclusivism, and upholding of justice, equality, harmony and tolerance among people of different faiths. Not to mention an enormous number of religiously open-minded graduates.
Related to that, for instance, the existence of the Center for Religious and Cultural Studies (CRCS) for Masters' degree and the Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) for doctoral level, with English used as the only medium of teaching, jointly founded some years ago by three prominent universities in Jogjakarta (the University of Gadjah Mada, the Islamic State University of Sunan Kalijaga and the Christian University of Duta Wacana), is to be seen to some extent as offshoot of the long dedication Islamic state institutes/universities gave to flourishing religious studies in its more generic meaning, which refers not only to one but all religions on the whole.
In addition, despite the recently gloomy appeal of Islamic studies, what the Department of Religious Affairs devotes to in the last four years by giving some of Islamic state institutes/universities special classes of Islamic studies, with all its subjects taught in either English or Arabic, offered with full scholarship for undergraduate level, appears to raise new hopes that Islamic studies will play an incredible role in generating, rather than men of working classes and religious extremists, men of ideas and actions committed to earnestly breeding peace, harmony and justice in pluralistic society.
Aslam Sa'ad is currently a lecturer in English and Hermeneutics at Islamic State Institute of Islamic Studies (IAIN Walisongo Semarang); Nihayatul Wafiroh is a Ph.D. student at Indonesian Consortium of Religious Studies (ICRS) of the University of Gadjah Mada.
It is published here
It is therefore easy to understand, why at present most parents prefer to send their children to universities and colleges that offer a better possibility of employment afterwards, as the educational institutions promise students applicable and relevant expertise.
Islamic studies are not able to offer dream jobs for the graduates. Just look at the UIN/IAIN/STAIN (Islamic State University/Institute of Islamic Studies). These institutes often find difficulties in recruiting students.
Of five fields of Islamic sciences taught at those institute Syari'ah (Islamic law) Tarbiyah (education), Ushuluddin (fundamental of religion), Dakwah (religious propagation, and Adab (literature), the departments of Ushuluddin, Dakwah and Adab are increasingly enduring year-to-year low enrollment of freshmen.
What follows seems even more discouraging. The attempts of several Institutes of Islamic Studies (IAIN/STAIN) to transform their institute status into university level, for instance, IAIN Syarif Hidayatullah then becoming Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (Islamic State University), IAIN Sunan Kalijaga becoming UIN Sunan Kalijaga, and STAIN Malang becoming UIN Maulana Malik Ibrahim, are not very helpful to attracting more students.
Amid this academic predicament, meticulous but creative outlooks and solutions are absolutely needed in order to boost the academic appeal of Islamic studies and to figure out the imperative role that the field may play in the future. Islamic studies are different from religious studies. The latter is broader than the former in terms of the scope of study, methodology, and epistemological assumptions.
Islamic studies mainly deal with and put emphasis exclusively on one specific religion that is Islam and all its dimensions, whereas religious studies, known too as religionwissenschaft, embrace and focus on all religions in general and also absorb and apply a variety of disciplines and approaches that belong to philosophy and social sciences.
Religious studies began to be installed into the system of curriculum of IAIN in the early 1970s. The late Harun Nasution and Mukti Ali played a historic role in introducing the subject at IAIN Syarif Hidayatullah and IAIN Sunan Kalijaga during their tenure as the rectors of the respective institutions.
Islamic state institutes' stakeholders seemed to have realized from the outset that religious studies are very helpful in enhancing Islamic studies' framework. No doubt, it is to religious studies that Islamic studies owe contemporary approaches and methodologies, through which the latter became able to unravel and decipher religious issues in the more open-minded ways of thinking. Religious studies bring about fundamental principles such as respect for humanity, inclusive religiosity, pluralism and tolerance.
In its June 29, 2009, newsletter, Muhammad Ali Al-Hazaa, the head of the University of Jazan in Saudi Arabia, a newly established higher learning institution, pointed out that Saudi no longer needs graduates in (Islamic) religious studies, in view of the country's job market being saturated with graduates in the field, on the one hand and the rising trend of extremist movements, which have in fact been supplied by those who graduated from Islamic studies department. Meanwhile, universities are more reluctant to open the faculty of Islamic studies.
Indeed concern over Islamic studies' vulnerability to being sources of religious extremism, as Al-Hazaa alluded to, cannot be thwarted unless the stakeholders of Islamic learning institutions, be it universities, institutes, pesantren (Islamic boarding school) and madrassa, show the openness to integrate Islamic studies with contemporary approaches and analysis in religious studies that highly respect the principles of inclusive religiosity, multiculturalism, religious pluralism and diversity, toleration, and so forth.
With regard to the field of religious studies that has over three decades been thought in Islamic states institutes/universities, it has so far been indubitably making tremendous contribution to promoting not only discourses but also actions that favor interfaith dialogues, respect for religious pluralism and inclusivism, and upholding of justice, equality, harmony and tolerance among people of different faiths. Not to mention an enormous number of religiously open-minded graduates.
Related to that, for instance, the existence of the Center for Religious and Cultural Studies (CRCS) for Masters' degree and the Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) for doctoral level, with English used as the only medium of teaching, jointly founded some years ago by three prominent universities in Jogjakarta (the University of Gadjah Mada, the Islamic State University of Sunan Kalijaga and the Christian University of Duta Wacana), is to be seen to some extent as offshoot of the long dedication Islamic state institutes/universities gave to flourishing religious studies in its more generic meaning, which refers not only to one but all religions on the whole.
In addition, despite the recently gloomy appeal of Islamic studies, what the Department of Religious Affairs devotes to in the last four years by giving some of Islamic state institutes/universities special classes of Islamic studies, with all its subjects taught in either English or Arabic, offered with full scholarship for undergraduate level, appears to raise new hopes that Islamic studies will play an incredible role in generating, rather than men of working classes and religious extremists, men of ideas and actions committed to earnestly breeding peace, harmony and justice in pluralistic society.
Aslam Sa'ad is currently a lecturer in English and Hermeneutics at Islamic State Institute of Islamic Studies (IAIN Walisongo Semarang); Nihayatul Wafiroh is a Ph.D. student at Indonesian Consortium of Religious Studies (ICRS) of the University of Gadjah Mada.
It is published here
Ayat-Ayat Cinta dalam Kritik
Aku sudah pernah nonton film AAC berkali-kali, semalam film ini di putar di Korean Studies Centre, yang mengadakan adalah program Southeast Asia Department. Sebenernya muales nonton, cuman Babah belum pernah nonton dan minta ditemani, ya udah wes aku nonton, sambil bawa minum dan beberapa buah untuk buka puasa.
Ada sekitar 50-an orang yang nonton, kebanyakan dari mereka adalah student-student yang konsentrasi di bidang Indonesia, salah satunya si Bule gila satu ini, Lance. Selain pinter bahasa Indonesai, dan focus penelitiannya tentang suku Bajo di SUlawesi, dia juga penggila masakan Indonesia. Kata teman-teman, Si Lance ini orang Indonesia yang kebetulan lahir di US,hehhe.
Setelah nonton, aku, Babah dan Lance berdiskusi. Kata Lance, nih film membingungkan, apasih pesan yang akan dikirimkan, kok kayaknya pesan yang di awal film dan di akhir film berbeda. Kemudian sambil berjalan pulang menuju Dormitory, Lance mengkritisi film yang menghebohkan ini. Dia bilang, "ketika di awal film, aku pikir film ini bagus banget, yakni menceritakan tentang hubungan orang Islam yang sholeh dan orang Kristen yang baik. Tapi ketika masuk akhir-akhir, kok jadi tentang Poligami?".
Lance juga mengaku bingung kenapa sih setiap kali tokoh Maria mengeluarkan darah dari hidungnya pasti jatuhnya di tangan kirinya yang ada tato salibnya?, apa maksudnya?. Apakah itu sebagai symbol bahwa Maria akan menghapus tanda salib tersebut? Atau sebagai sinyal kalau Maria akan convert to Islam?.Jadi pesan yang hendak dibawa oleh film ini tumpang tindih dan tidak jelas.
Sempat pula dipertanyakan oleh Lance tentang bagaimana reaksi orang Kristen terhadap film ini. Sejauh sepengetahuanku sepertinya film ini tidak menuai protes apa-apa dari orang Kristen. aku tidak tahu, apakah karena orang Kristen Indonesia tidak berani berkomentar? atau karena mereka tidak mempermasalahkan hal tersebut? atau bahkan karena mereka tidak pernah menonton film ini?.
Walaupun aku udah nonton film ini lebih dari satu kali, tapi terus terang aku tidak pernah berpikir sejauh itu, mungkin setting pikiranku sebagai orang Islam dan Indonesia berbeda dengan cara melihat dari seorang Lance yang America terhadap film ini. Aku jadi ingat komentar seorang kawan di Indonesia setelah melihat film ini "Akhirnya si Maria masuk Islam juga ya, alhamdulillah." Ini tentu berbeda dengan Lance yang berkomentar, "Kalau aku jadi sutradaranya, aku tetep biarkan Maria itu sebagai Kristen Coptic, biar di situ terlihat keharmonisan hubungan Islam dan Kristen, dan aku pikir ini akan menjadi gambaran yang bagus bahwa Islam itu sebenernya benar-benar agama yang peace."
Lalu bagaimana dengan pendapat anda sendiri? salam
Hawaii, September 13, 2008
Ada sekitar 50-an orang yang nonton, kebanyakan dari mereka adalah student-student yang konsentrasi di bidang Indonesia, salah satunya si Bule gila satu ini, Lance. Selain pinter bahasa Indonesai, dan focus penelitiannya tentang suku Bajo di SUlawesi, dia juga penggila masakan Indonesia. Kata teman-teman, Si Lance ini orang Indonesia yang kebetulan lahir di US,hehhe.
Setelah nonton, aku, Babah dan Lance berdiskusi. Kata Lance, nih film membingungkan, apasih pesan yang akan dikirimkan, kok kayaknya pesan yang di awal film dan di akhir film berbeda. Kemudian sambil berjalan pulang menuju Dormitory, Lance mengkritisi film yang menghebohkan ini. Dia bilang, "ketika di awal film, aku pikir film ini bagus banget, yakni menceritakan tentang hubungan orang Islam yang sholeh dan orang Kristen yang baik. Tapi ketika masuk akhir-akhir, kok jadi tentang Poligami?".
Lance juga mengaku bingung kenapa sih setiap kali tokoh Maria mengeluarkan darah dari hidungnya pasti jatuhnya di tangan kirinya yang ada tato salibnya?, apa maksudnya?. Apakah itu sebagai symbol bahwa Maria akan menghapus tanda salib tersebut? Atau sebagai sinyal kalau Maria akan convert to Islam?.Jadi pesan yang hendak dibawa oleh film ini tumpang tindih dan tidak jelas.
Sempat pula dipertanyakan oleh Lance tentang bagaimana reaksi orang Kristen terhadap film ini. Sejauh sepengetahuanku sepertinya film ini tidak menuai protes apa-apa dari orang Kristen. aku tidak tahu, apakah karena orang Kristen Indonesia tidak berani berkomentar? atau karena mereka tidak mempermasalahkan hal tersebut? atau bahkan karena mereka tidak pernah menonton film ini?.
Walaupun aku udah nonton film ini lebih dari satu kali, tapi terus terang aku tidak pernah berpikir sejauh itu, mungkin setting pikiranku sebagai orang Islam dan Indonesia berbeda dengan cara melihat dari seorang Lance yang America terhadap film ini. Aku jadi ingat komentar seorang kawan di Indonesia setelah melihat film ini "Akhirnya si Maria masuk Islam juga ya, alhamdulillah." Ini tentu berbeda dengan Lance yang berkomentar, "Kalau aku jadi sutradaranya, aku tetep biarkan Maria itu sebagai Kristen Coptic, biar di situ terlihat keharmonisan hubungan Islam dan Kristen, dan aku pikir ini akan menjadi gambaran yang bagus bahwa Islam itu sebenernya benar-benar agama yang peace."
Lalu bagaimana dengan pendapat anda sendiri? salam
Hawaii, September 13, 2008
Face of Muhammad
Aku mengambil kelas Islamic Philosophy dengan Dr. Tamara Albertini, seorang American yang pinter berbahasa Arab dan ahli filsafat Islam. Basically, di kelas ini aku ingin melihat bagaimana seorang America melihat filsafat Islam. Sekaligus di kelas ini aku pengen mereview pelajaran tentang filsafat Islam yang pernah aku dapat di S1 dulu.
Walaupun secara keseluruhan yang disampaikan oleh Albertini bukan new things bagiku, tapi tetep aja menarik mengikuti diskusi di kelas. Tadi ada seorang kawan yang bertanya tentang bagaimana face of Muhammad. Albertini menunjukkan beberapa gambar yang menceritakan ketika Muhammad dilahirkan, terus ada juga gambar Muhammad ketika melakukan Isra' Mi'raj, dan gambar facenya Muhammad yang agak jelas yaitu gambar yang menunjukkan ketika Muhammad mengangkat hajar aswad dan meletakkannya di kain yang dipegang oleh beberapa orang dari suku-suku yang ada di Makkah. Albertini mendapatkan gambar-gambar tersebut dari berbagai manuscrip yang tersebar di perpustakaan Eropa dan US.
Saat itu aku langsung teringat guru mengajiku di desa dulu yang mengatakan bahwa wajah Muhammad tidak bisa digambarkan, karena Muhammad adalah the perfect person in the world. Guru mengajiku bahkan berani mempersentasikan kecakapan Nabi Muhammad. Menurut Beliau, kegantengan Muhammad itu adalah setengah dunia, sedangkan Nabi Yusuf seperempat dunia, lalu seperempat lainnya dibagikan ke seluruh umat manusia. Jadi usaha menggambarkan Muhammad bisa dikategorikan sebagai bentuk pelecehan terhadap Muhammad, sebab Muhammad diyakini pasti jauh lebih sempurna dari gambaran tersebut. Bahkan menurut guru ngajiku tersebut membayangkan wajah Muhammad aja kita tidak mampu. Dan sepertinya pandangan tersebut yang banyak di pegang oleh umat Islam di Indonesia, jadi sangat wajarlah ketika ada kartun tentang Muhammad, terlebih kartun tersebut sangat mendiskriditkan Muhammad, umat Islam langsung murka. Aku sendiri secara personal belum pernah menemukan rujukan yang bisa jadi reference hukum menggambar wajah Muhammad, dan hingga kini aku juga tidak tahu rujukan yang dipakai guru ngajiku tersebut.
Wah gimana ya kira-kira reaksi guru ngajiku kalau mengetahui Muhammad digambar?
Walaupun secara keseluruhan yang disampaikan oleh Albertini bukan new things bagiku, tapi tetep aja menarik mengikuti diskusi di kelas. Tadi ada seorang kawan yang bertanya tentang bagaimana face of Muhammad. Albertini menunjukkan beberapa gambar yang menceritakan ketika Muhammad dilahirkan, terus ada juga gambar Muhammad ketika melakukan Isra' Mi'raj, dan gambar facenya Muhammad yang agak jelas yaitu gambar yang menunjukkan ketika Muhammad mengangkat hajar aswad dan meletakkannya di kain yang dipegang oleh beberapa orang dari suku-suku yang ada di Makkah. Albertini mendapatkan gambar-gambar tersebut dari berbagai manuscrip yang tersebar di perpustakaan Eropa dan US.
Saat itu aku langsung teringat guru mengajiku di desa dulu yang mengatakan bahwa wajah Muhammad tidak bisa digambarkan, karena Muhammad adalah the perfect person in the world. Guru mengajiku bahkan berani mempersentasikan kecakapan Nabi Muhammad. Menurut Beliau, kegantengan Muhammad itu adalah setengah dunia, sedangkan Nabi Yusuf seperempat dunia, lalu seperempat lainnya dibagikan ke seluruh umat manusia. Jadi usaha menggambarkan Muhammad bisa dikategorikan sebagai bentuk pelecehan terhadap Muhammad, sebab Muhammad diyakini pasti jauh lebih sempurna dari gambaran tersebut. Bahkan menurut guru ngajiku tersebut membayangkan wajah Muhammad aja kita tidak mampu. Dan sepertinya pandangan tersebut yang banyak di pegang oleh umat Islam di Indonesia, jadi sangat wajarlah ketika ada kartun tentang Muhammad, terlebih kartun tersebut sangat mendiskriditkan Muhammad, umat Islam langsung murka. Aku sendiri secara personal belum pernah menemukan rujukan yang bisa jadi reference hukum menggambar wajah Muhammad, dan hingga kini aku juga tidak tahu rujukan yang dipakai guru ngajiku tersebut.
Wah gimana ya kira-kira reaksi guru ngajiku kalau mengetahui Muhammad digambar?
Perempuan Bercadar dan Strereotype
Saya belum pernah punya kawan yang bercadar. Tapi dulu, saat Kuliah Kerja Nyata (KKN) S1 teman satu post saya adalah pemakai jilbab besar. Dari situ saya belajar banyak, bagaimana prinsip dan pandangan perempuan-perempuan yang lebih suka menutup seluruh tubuhnya dengan baju yang longgar dan jilbab yang nyaris menutup sebagian tubuhnya. Teman saya ini orangnya asik, bahkan dia hobi ngebut kalau naik motor. Saya enjoy mengobrol dengan dia. Kami suka berdiskusi banyak hal. Walaupun saya termasuk penyuka celana jeans, tapi teman saya ini tidak pernah menghakimi, atau menggurui. Dia berpikir cara berpakaian adalah sifatnya individual. Tidak ada yang salah dalam berpakaian, karena tergantung bagaimana orang mengenali dirinya sendiri.
Sejak saat itu saya tidak pernah memandang sebelah mata pada orang yang berpakaian beda dengan saya. Kadang saya berpikir, apakah mereka tidak ribet atau kepanasan memakai pakaian sepeti itu?. Tapi bisa jadi mereka berpikiran yang sama ke saya, apakah saya tidak malu memakai celan jins yang notabene memperlihatkan lekukan kaki saya? Jadi impaskan?? Menurut saya, sebenarnya pikiran-pikiran itu muncul ketika kita tidak saling kenal atau mengetahui.
Ketika di TV dihebohkan dengan pemberitaan tentang teroris, yang notabene perempuan-perempuan yang dekat dengan mereka selalu menggunakan cadar, saya jadi berpikir. Apakah mereka itu juga sangat seekslusif cara berpakaiannya? ataukah mereka orang yang enak juga diajak berdiskusi seperti halnya teman saya?
Beberawa waktu lalu saya berputar-putar mencari rumah kontrakan di Yogyakarta. Saat proses mencari kontrakan ini, saya menemukan kenyataan baru tentang perempuan bercadar. Saat mengobrol dengan seorang bapak dan Ibu yang kebetulan rumah orang tuanya akan dikontrakkan, Ibu itu bilang,"Dua hari lalu sebenarnya ada orang yang sudah melihat rumah itu, tempat dan harga sudah cocok, tapi Pak RT menganjurkan untuk tidak menerima pengontrak tersebut." Saya pun heran, menurut ibu tersebut sang calon pengontrak ini istrinya memakai cadar. Masih menurut Ibu tadi, di beberapa tempat banyak perempuan bercadar yang diusir dari kontrakan. Bahkan ada yang mau mengontrak dua tahun, tapi baru berjalan dua bulan sudah diminta keluar.
Saya prihatin sekali dengan kondisi ini. Tapi saya mencoba melihat dari dua sisi. Andaikan saya menjadi pemilik kontrak tentu saya memiliki kekhawatiran yang tidak berbeda. Media telah membentuk persepsi bahwa orang yang bercadar dan juga keluarganya harus dicurigai sebagai orang-orang dari kelompok teroris. Lalu apakah semua perempuan bercadar juga anggota teroris?. Saya bayangkan betapa sakit dan sedihnya para perempuan itu terusir dari kontrakan dan sulit diterima di masyarakat. Mereka juga selalu dipandang sebagai orang yang harus dicurigai sebagai teroris. Padahal jelas-jelas belum tentu mereka bersalah. Hanya karena segelintir orang yang membuat teror, imbasnya mengenai ke banyak orang.
Walaupun memang benar kebanyakan perempuan terdekat para teroris tersebut memakai jilbab bercadar, tapi apakah mereka adalah bagian dari jaringan tersebut?. kenyataan yang ada kebanyakan dari mereka juga korban. Lihat perempuan-perempuan yang hanya digunakan oleh Nurdin M Top sebagai tameng persembunyian. Mereka dinikahi dengan mengunakan nama palsu, setelah memiliki anak mereka ditinggal. Lagi-lagi perempuan menjadi korban. Bila melihat kenyataan ini, perempuan menjadi korban dua kali. Pertama mereka dinikahi dengan tidak bertanggung jawab, lalu mereka juga harus menanggung beban atas asumsi masyarakat.
Melihat kondisi seperti ini, seharusnya pemerintah turut ambil bagian dalam mengatasi masalah. Semisal, perempuan bercadar dan keluarganya diberi surat pengantar dari perangkat desa yang nantinya bisa menjadi bukti bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak terlibat jaringan teroris. Surat ini akan menjadi jaminan bagi mereka untuk bisa diterima oleh masyarakat dan akhirnya mereka akan bisa mendapat tempat tinggal. Bayangkan ketika mereka tidak memeliki tempat tinggal, dimana mereka akan tidur? Bagaimana dengan anak-anak mereka?. Siapun mereka, dan bagaimanapun cara berpakaian mereka, tetap saja mereka adalah manusia dan warga Indonesia yang negara harus turut menjamin kehidupan yang layak.
Sejak saat itu saya tidak pernah memandang sebelah mata pada orang yang berpakaian beda dengan saya. Kadang saya berpikir, apakah mereka tidak ribet atau kepanasan memakai pakaian sepeti itu?. Tapi bisa jadi mereka berpikiran yang sama ke saya, apakah saya tidak malu memakai celan jins yang notabene memperlihatkan lekukan kaki saya? Jadi impaskan?? Menurut saya, sebenarnya pikiran-pikiran itu muncul ketika kita tidak saling kenal atau mengetahui.
Ketika di TV dihebohkan dengan pemberitaan tentang teroris, yang notabene perempuan-perempuan yang dekat dengan mereka selalu menggunakan cadar, saya jadi berpikir. Apakah mereka itu juga sangat seekslusif cara berpakaiannya? ataukah mereka orang yang enak juga diajak berdiskusi seperti halnya teman saya?
Beberawa waktu lalu saya berputar-putar mencari rumah kontrakan di Yogyakarta. Saat proses mencari kontrakan ini, saya menemukan kenyataan baru tentang perempuan bercadar. Saat mengobrol dengan seorang bapak dan Ibu yang kebetulan rumah orang tuanya akan dikontrakkan, Ibu itu bilang,"Dua hari lalu sebenarnya ada orang yang sudah melihat rumah itu, tempat dan harga sudah cocok, tapi Pak RT menganjurkan untuk tidak menerima pengontrak tersebut." Saya pun heran, menurut ibu tersebut sang calon pengontrak ini istrinya memakai cadar. Masih menurut Ibu tadi, di beberapa tempat banyak perempuan bercadar yang diusir dari kontrakan. Bahkan ada yang mau mengontrak dua tahun, tapi baru berjalan dua bulan sudah diminta keluar.
Saya prihatin sekali dengan kondisi ini. Tapi saya mencoba melihat dari dua sisi. Andaikan saya menjadi pemilik kontrak tentu saya memiliki kekhawatiran yang tidak berbeda. Media telah membentuk persepsi bahwa orang yang bercadar dan juga keluarganya harus dicurigai sebagai orang-orang dari kelompok teroris. Lalu apakah semua perempuan bercadar juga anggota teroris?. Saya bayangkan betapa sakit dan sedihnya para perempuan itu terusir dari kontrakan dan sulit diterima di masyarakat. Mereka juga selalu dipandang sebagai orang yang harus dicurigai sebagai teroris. Padahal jelas-jelas belum tentu mereka bersalah. Hanya karena segelintir orang yang membuat teror, imbasnya mengenai ke banyak orang.
Walaupun memang benar kebanyakan perempuan terdekat para teroris tersebut memakai jilbab bercadar, tapi apakah mereka adalah bagian dari jaringan tersebut?. kenyataan yang ada kebanyakan dari mereka juga korban. Lihat perempuan-perempuan yang hanya digunakan oleh Nurdin M Top sebagai tameng persembunyian. Mereka dinikahi dengan mengunakan nama palsu, setelah memiliki anak mereka ditinggal. Lagi-lagi perempuan menjadi korban. Bila melihat kenyataan ini, perempuan menjadi korban dua kali. Pertama mereka dinikahi dengan tidak bertanggung jawab, lalu mereka juga harus menanggung beban atas asumsi masyarakat.
Melihat kondisi seperti ini, seharusnya pemerintah turut ambil bagian dalam mengatasi masalah. Semisal, perempuan bercadar dan keluarganya diberi surat pengantar dari perangkat desa yang nantinya bisa menjadi bukti bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak terlibat jaringan teroris. Surat ini akan menjadi jaminan bagi mereka untuk bisa diterima oleh masyarakat dan akhirnya mereka akan bisa mendapat tempat tinggal. Bayangkan ketika mereka tidak memeliki tempat tinggal, dimana mereka akan tidur? Bagaimana dengan anak-anak mereka?. Siapun mereka, dan bagaimanapun cara berpakaian mereka, tetap saja mereka adalah manusia dan warga Indonesia yang negara harus turut menjamin kehidupan yang layak.
Subscribe to:
Posts (Atom)