Sunday, September 26, 2010

Perempuan Bercadar dan Strereotype

Saya belum pernah punya kawan yang bercadar. Tapi dulu, saat Kuliah Kerja Nyata (KKN) S1 teman satu post saya adalah pemakai jilbab besar. Dari situ saya belajar banyak, bagaimana prinsip dan pandangan perempuan-perempuan yang lebih suka menutup seluruh tubuhnya dengan baju yang longgar dan jilbab yang nyaris menutup sebagian tubuhnya. Teman saya ini orangnya asik, bahkan dia hobi ngebut kalau naik motor. Saya enjoy mengobrol dengan dia. Kami suka berdiskusi banyak hal. Walaupun saya termasuk penyuka celana jeans, tapi teman saya ini tidak pernah menghakimi, atau menggurui. Dia berpikir cara berpakaian adalah sifatnya individual. Tidak ada yang salah dalam berpakaian, karena tergantung bagaimana orang mengenali dirinya sendiri.

Sejak saat itu saya tidak pernah memandang sebelah mata pada orang yang berpakaian beda dengan saya. Kadang saya berpikir, apakah mereka tidak ribet atau kepanasan memakai pakaian sepeti itu?. Tapi bisa jadi mereka berpikiran yang sama ke saya, apakah saya tidak malu memakai celan jins yang notabene memperlihatkan lekukan kaki saya? Jadi impaskan?? Menurut saya, sebenarnya pikiran-pikiran itu muncul ketika kita tidak saling kenal atau mengetahui.

Ketika di TV dihebohkan dengan pemberitaan tentang teroris, yang notabene perempuan-perempuan yang dekat dengan mereka selalu menggunakan cadar, saya jadi berpikir. Apakah mereka itu juga sangat seekslusif cara berpakaiannya? ataukah mereka orang yang enak juga diajak berdiskusi seperti halnya teman saya?

Beberawa waktu lalu saya berputar-putar mencari rumah kontrakan di Yogyakarta. Saat proses mencari kontrakan ini, saya menemukan kenyataan baru tentang perempuan bercadar. Saat mengobrol dengan seorang bapak dan Ibu yang kebetulan rumah orang tuanya akan dikontrakkan, Ibu itu bilang,"Dua hari lalu sebenarnya ada orang yang sudah melihat rumah itu, tempat dan harga sudah cocok, tapi Pak RT menganjurkan untuk tidak menerima pengontrak tersebut." Saya pun heran, menurut ibu tersebut sang calon pengontrak ini istrinya memakai cadar. Masih menurut Ibu tadi, di beberapa tempat banyak perempuan bercadar yang diusir dari kontrakan. Bahkan ada yang mau mengontrak dua tahun, tapi baru berjalan dua bulan sudah diminta keluar.

Saya prihatin sekali dengan kondisi ini. Tapi saya mencoba melihat dari dua sisi. Andaikan saya menjadi pemilik kontrak tentu saya memiliki kekhawatiran yang tidak berbeda. Media telah membentuk persepsi bahwa orang yang bercadar dan juga keluarganya harus dicurigai sebagai orang-orang dari kelompok teroris. Lalu apakah semua perempuan bercadar juga anggota teroris?. Saya bayangkan betapa sakit dan sedihnya para perempuan itu terusir dari kontrakan dan sulit diterima di masyarakat. Mereka juga selalu dipandang sebagai orang yang harus dicurigai sebagai teroris. Padahal jelas-jelas belum tentu mereka bersalah. Hanya karena segelintir orang yang membuat teror, imbasnya mengenai ke banyak orang.

Walaupun memang benar kebanyakan perempuan terdekat para teroris tersebut memakai jilbab bercadar, tapi apakah mereka adalah bagian dari jaringan tersebut?. kenyataan yang ada kebanyakan dari mereka juga korban. Lihat perempuan-perempuan yang hanya digunakan oleh Nurdin M Top sebagai tameng persembunyian. Mereka dinikahi dengan mengunakan nama palsu, setelah memiliki anak mereka ditinggal. Lagi-lagi perempuan menjadi korban. Bila melihat kenyataan ini, perempuan menjadi korban dua kali. Pertama mereka dinikahi dengan tidak bertanggung jawab, lalu mereka juga harus menanggung beban atas asumsi masyarakat.

Melihat kondisi seperti ini, seharusnya pemerintah turut ambil bagian dalam mengatasi masalah. Semisal, perempuan bercadar dan keluarganya diberi surat pengantar dari perangkat desa yang nantinya bisa menjadi bukti bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak terlibat jaringan teroris. Surat ini akan menjadi jaminan bagi mereka untuk bisa diterima oleh masyarakat dan akhirnya mereka akan bisa mendapat tempat tinggal. Bayangkan ketika mereka tidak memeliki tempat tinggal, dimana mereka akan tidur? Bagaimana dengan anak-anak mereka?. Siapun mereka, dan bagaimanapun cara berpakaian mereka, tetap saja mereka adalah manusia dan warga Indonesia yang negara harus turut menjamin kehidupan yang layak.

No comments: